UPACARA INISIASI BERDARAH



Wajah-wajah lugu itu mengikuti  semua komando Toha . Mereka baris memanjang ke belakang memegang pundak-pundak kawan di depannya.
“Jongkok!Cepat!”
Anak-anak itu berjongkok mengikuti  komando Toha. Bagaikan sepasukan bebek yang siap digiring ke sungai mereka menuruti segala perintah Toha. Hanya ada satu anak yang masih berdiri bermaksud menentang. Toha berang melihat kelakuan anak itu.
“Eh lo. Kenapa enggak jongkok . Lo udah jago ya?”
Toha menghampiri anak yang masih berdiri. Napas anak itu memburu menahan kemarahan yang mendesak-desak rongga dadanya. Darah Toha panas melihat kelakuan anak itu. Toha mengepalkan tangannya. Sebuah pukulan mendarat tepat di dada anak yang masih berdiri itu. Sekonyong-konyong Aldi, anak itu, tersungkur. Kedua tangannya memegangi  dadanya yang dipukul Toha. Rasa sakit dan sesak berusaha ditahannya sekuat mungkin. Aldi berusaha  membangkitkan tubuhnya. Kulihat dengan nyata Aldi terseok-seok membangunkan tubuhnya.
Aku berusaha menahan mulas yang terasa di perutku  menyaksikan adegan demi adegan keganasan senior pada junior-junior itu. Meski aku senior, aku tak sampai hati jika melakukan semua perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh senior penggojlok itu.
Aku masih merekam semua peristiwa itu. Handycam baru pemberian Om Mul ini memang sudah kupersiapkan sejak lama. Toha menghampiriku. Toha mengacungkan tiga jari metalnya ke arah kameraku. Senyumnya beringas diikuti tawa keras yang menyiutkan nyali .
Sebenarnya aku sangat ngeri menyaksikan secara langsung “kebrutalan” ini. Apalagi tugasku lumayan berat dalam upacara inisiasi ini. Aku harus mendokumentasikan “ upacara rutin awal tahun ajaran baru “. Upacara rutin? Yup. Upacara ini bernama “upacara inisiasi”. Upacara ini rutin dilakukan siswa di sekolahku setiap awal tahun ajaran baru. Anak-anak kelas X yang baru masuk adalah pesertanya. Mereka kami juluki junior dan kami menyebut diri kami sebagai senior.
            Upacara ini khusus untuk siswa laki-laki . Untuk menjadi bagian dari kami,  mereka harus menjalani tradisi ini. Kalau tidak, mereka akan dikucilkan oleh siswa satu sekolah dan akan menjadi bulan-bulanan kami sebagai senior.
            Tentu saja upacara ini ilegal. Bapak dan Ibu guru kami di sekolah tidak pernah tahu dengan upacara ini. Kami lakukan upacara ini jauh dari lingkungan sekolah. Biasanya kami cari lokasi-lokasi yang sepi seperti kuburan atau lapangan kosong yang sepi dari pantauan orang-orang. Kalau sampai bapak atau ibu guru kami tahu, kami yakin kami pasti dikeluarkan dari sekolah. Hebatnya meski upacara ini berlangsung dari tahun ke tahun tak satu pun guru kami yang pernah mengetahuinya. Atau sebenarnya mereka tahu tapi tidak memilki cukup bukti untuk mengangkat kasus ini ke permukaan.          
            Ngeri? Ya, itu dulu. Sekarang aku sudah terbiasa dengan tradisi ini. Masih kuat di benakku  dua tahun lalu pun aku yang menjadi junior. Bayangan itu tidak bisa hilang dalam labirin otakku. Sama seperti mereka, aku pun harus berjalan jongkok bertelanjang dada.  Memutari pekuburan berkali-kali. Parahnya,  aku dipaksa meminum air selokan yang mengantarku ke bangsal rumah sakit. Tiga hari aku harus diinfus di rumah sakit. 
            Aku tak pernah memberitahukan orang tuaku tentang masalah ini. Ini urusan laki-laki. Ini urusan remaja menjelang dewasa. Orang tua tidak perlu tahu. Teman-temanku tahu aku tidak punya nyali untuk menjadi senior penggojlok,  tubuhku kecil, terlihat sekali penakut. Aku juga heran mengapa teman-teman memilihku aku untuk ikut upacara inisiasi ini walaupun tugasku hanya sebagai “ kameramen”. Tugas yang biasa, tetapi buatku tugas ini begitu berat dan menakutkan.  
            Tanganku masih mengoperasikan handycam. Toha, Boy, dan Vildi bergantian memukul junior-junior itu tepat di dada mereka. Bergidik aku hingga bergoyang handycam di tanganku. Ada yang lebih seru untuk di shoot rupanya. Aldi, junior yang membangkang itu mendapat perlakuan istimewa.  Matanya ditutup dan seorang  senior, Bebe, panggilannya, menjambak rambut Aldi, memaksa aldi untuk memakan sepiring kripik di tangannya. Di antara aksi  senior yang paling mengerikan adalah aksi Bebe. Bebe sudah tidak bersekolah lagi di sekolahku. Dua tahun menjadi “veteran” membuat Bebe di D.O. dari sekolah. Sampai sekarang dia selalu mengaku sebagai alumni, alumni apa? Lulus saja tidak pernah.
            Bebe inilah yang dulu membuatku masuk ke bangsal RS. Sampai sekarang pun dendam itu masih ada di labirin dadaku. Aku muak, aku benci, tetapi aku tidak punya nyali untuk membalaskan dendamku.
Upacara inisiasi ini berlangsung hingga menjelang maghrib. Akhirnya berakhir juga tugasku. Toha berpesan padaku.
“ Simpan baik-baik film itu, Poun. Jangan sampai hilang ya.”
“Beres. “kuacungkan jempol ke arahnya.
“Puas gue hari ini. Gimana? Lo takut?”
Aku tidak menjawab pertanyaan   Toha. Melihat reaksiku saja Toha mafhum ketakutanku. Sudah tahu aku penakut mengapa dia malah mengajakku menjadi bagian dari upacara ini sih?
                                                                                       ***
            Upacara senin kali ini tidak terasa seperti biasanya. Aku merasakan aura ketegangan. Teman-temanku , pelaku upacara inisiasi kemarin, kulihat berkasak-kusuk dengan wajah tegang mereka.   Ada apakah gerangan? pikirku. aku tersentak tatkala pembina upacara bendera menyampaikan amanatnya.
“Innalilahi wa inna ilaihi rojiun. Bapak ibu yang saya hormati serta anak-anakku peserta upacara. Bapak menyampaikan berita dukacita. Teman kalian, Aldi Sumanjaya, Kelas X-3 kemarin meninggal dunia.”
            Tiba-tiba dengkulku terasa lemas. Tanganku gemetar, keringat dingin perlahan tapi pasti membasahi sekujur tubuhku. Pikiranku menjadi kacau. Hatiku mendobrak-dobrak segala tanya.  Aku tidak percaya. Kulirikkan mataku ke arah Boy dan Vildi. Mereka terlihat tertunduk . Bayangan rekaman peristiwa kemarin berkelebat di  kepalaku. Seperti film yang kuambil gambarnya kemarin. Aku ingat sekali, bagaimana Bebe memperlakuakn aldi. Aku tidak menyangka, aksi Bebe kali ini mengantarkan Aldi hingga ke liang lahat. Aku tidak lagi mendengar amanat pembina upacara. Konsentrasiku  tertuju pada upacara inisiasi kemarin. Rekaman peristiwa itu berslideshow di benakku . Aku benar-benar ketakutan.
                                                                                  ***
            Ruang 4x4 meter ini terasa sesak. Padahal hanya ada 13 orang di dalamnya. Aku, Pak Rum,  Bu Nur, serta sepuluh temanku pelaku upacara inisiasi. Aku juga terkejut dan tidak menyangka sama sekali. Pak Rum dan Bu Nur bisa mendapatkan informasi secepat ini. Bu Nur hanya menggeleng-gelengkan kepalanya ke arahku.  Beliau tidak menyangka aku bisa terlibat dalam masalah ini. Yang Bu Nur tahu aku adalah anak pendiam dan penurut yang tidak pernah membuat onar.
            Upacara kemarin sangat rapi kami lakukan. Junior-junior itu tidak mungkin berani buka suara. Mata- mata  teman-temanku tertuju padaku. Mereka pasti menuduhku. Aku tidak bisa berkutik melawan tatapan marah teman-temanku. Aku rasa aku sudah sangat rapi menyimpan hasil kerjaku  kemarin.  Dokumen itu masih kusimpan di handycamku. Tidak mungkin  karena aku, bisa jadi semua ini bocor oleh junior-junior itu.  Jumlah junior-junior itu kan banyak, wajar kan jika ada salah satu yang membocorkan perkara ini?
“Kasus ini sudah melenyapkan nyawa orang. Kami pihak sekolah sudah menyerahkan kasus ini pada pihak berwajib. Pertangung jawabkan perbuatan kalian di kepolisian.”
Berat hati Bu Nur  menyampaikan ini kepada kami. Pak Romi sudah tidak bisa lagi membendung kekecewaannya.
“Bapak tidak bisa menuduh kalian sebagai pembunuh Aldi, Bapak serahkan kasus ini pada pihak berwajib. Semua perbuatan ada buahnya. Apa yang kau tanam itu yang kau petik. Silakan kalian ikut Bapak-Bapak polisi itu.”
Pak Romi menunjuk ke arah polisi yang berdiri di depan. Polisi berseragam itu sudah ada sejak pagi tadi. Kehadiran mereka sejak pagi sebenarnya sudah membuat hatiku kebat-kebit. Bagaimana tidak? Sejak berita kematian Aldi, sering sekali para polisi itu datang ke sekolah.
            Lima orang polisi menggiring kami ke polres. Beberapa temanku menangis. Aku tidak tahu bagaimana perasaanku sekarang. Sepertinya menangis bukan pilihan tepat untukku saat ini. Sesampainya di polres, aku lihat Bebe sudah di sana. Kondisinya kacau. Rambutnya berantakan, bajunya kotor sekali, dan matanya merah seperti orang kelelahan. Bebe sudah semalaman di polres. Seorang anggota polisi itu menyerahkan kami.
“Ini barang bukti perbuatan mereka. “
Sebuah kaset handycam terbungkus pelastik bening diserahkannya ke anggota polisi  di depannya. Aku terlonjak. Yang diberikan itu adalah kaset dari handycamku.  Bagaimana bisa kaset itu ada padanya?  Aku sangat yakin seharusnya kaset itu masih ada di kamarku. Tiba-tiba Toha dengan geram langsung menyerangku. Meninju wajahku tepat di hidung. Aku sempoyongan. Para polisi itu melerai. Suasana kisruh. Aku hanya bisa menahan rasa sakit . Tanganku memegangi hidung yang kini berdarah.
Mata Toha dan teman-temanku yang lain berang ke arahku
“Gue udah bilang simpan. Brengsek lo.”
Aku diam tak bisa berkutik. Bagaimana bisa kaset itu di situ? Oh, tidak . Matilah riwayatku. Dengan barang bukti itu, aku akan terseret pada kasus kriminal besar. Meski bukan aku yang membunuh Aldi, aku berada di sana. Aku menjadi bagian senior-senior pada upacara inisiasi berdarah itu. Aku harus siap dengan segala risikonya. Aku harus mempertanggungjawabkan perbuatanku dan teman-teman. Sekonyong-konyong pandanganku kabur, kepalaku pening dan bruk! Aku ambruk tak sadarkan diri. Jiwaku melayang dalam keputusasaan.
                                                        ***
Setapak demi setapak kulangkahkan kakiku. Langkahku terhenti pada sebuah kursi terbuat dari besi. Di belakang kursi itu berdiri seorang laki-laki seumuran ayahku. Bedanya wajahnya lebih sangar dengan kumis melintang menakutkan. Matanya garang mengerikan. Aku duduk di kursi di depannya. Kupejamkan mata dan memasrahakan apa yang harus terjadi padaku. Kursi ini akan dialiri listrik dan siap memanggangku hidup-hidup dalam kengerian. AAAAAAAAAAAA!!!!!! Aku teriak histeris.
Toha membangunkanku dan memukul pipiku.
“Bangun!Bangun! Kau mengigau!”
Tatkala kubuka mataku kulihat Toha yang berusaha menenangkanku.
Dalam isak tangis kujatuhkan tubuhku ke dada Toha
“Aku takut, Ha. Aku takut Mati. Aku tak ingin dihukum mati, aku tidak membunuh Aldi, bukan aku pembunuhnya.”
Toha tak bisa berkata apa-apa sebab dia sendiri pun berada dalam kecemasan yang sangat.
Hingga siang itu aku hanya bisa menangisi nasibku yang tidak jelas di depan sana.

                                                                  Selesai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perang Majas ( Metode Permainan dalam Pembelajaran)

Asal –Usul Nama Kue Cucur (Cerita Rakyat Betawi ),

KONJUNGSI TEMPORAL