HUKUM CAMBUK



Mata ayah memerah. Sekuat tenaga ditahannya emosi yang membadai di dadanya. Bibirnya masih terkatup. Sekali-kali kepalan tangan diremasnya kuat-kuat. Pandangan ayah tak lagi ke Mbak Yuni. Mbak Yuni masih bersimpuh lemah menundukkan wajahnya dalam-dalam. Air mata yang membanjir menemani isak di dadanya. Kami semua sibuk dengan emosi kami masing-masing. Ibu sedikit-sedikit menyapu air mata yang terus menetes di pipinya. Aku bisa membayangkan bagaimana perasaan ibu . Ibu tidak hanya sedih, sesak, juga kecewa.
            Mbak Yuni, kakakku yang satu ini sudah tiga tahun tidak pulang ke rumah. Dari kami berempat dialah yang paling keras sifatnya. Mbak Yuni anak kedua di keluargaku. Sebelum Mbak Yuni, ada Mas Bagus, di bawah Mbak Yuni ada Mas Purwanto dan terakhir aku. Mas Bagus sudah menikah dan sekarang tinggal di Surabaya dengan keluarganya. Mas Purwanto sekarang bekerja di Jakarta. Di rumah hanya ada aku yang menjaga ayah dan ibu dan masih menyelesaikan skripsiku yang insya Allah rampung dua bulan lagi. Mbak Yuni menurut surat-suratnya yang dikirim ke rumah mengabarkan kalau dia tinggal di Bandung dan menyelesaikan S2 di sana. Kami tak tahu banyak berita soal Mbakku itu. Dia seolah menghilang dan lama kelamaan aku terbiasa tanpa dirinya.
            Tiga tahun lalu pertengkaran hebat ayah dan Mbak Yuni terjadi. Semua berawal dari keinginan keras ayah menjodohkan Mbak Yuni dengan anak sahabatnya. Seorang ustadz di Bantul. Namanya Mas Arifin. Mbak Yuniku itu adalah wanita masa kini yang tidak bisa begitu saja mengikuti keinginan ayahku. Alasan ayah menjodohkan Mbak Yuni karena usianya yang mencapai 29 tahun  sedangkan ayah belum pernah sekalipun diperkenalkan oleh calonnya. Ayah takut Mbakku itu jadi perawan tua. Berkali-kali ayah mendesak Mbak Yuni mengenalkan calonnya pada ayah dan puncaknya adalah rencana ayah yang menerima lamaran Mas Arifin tanpa izin Mbak Yuni. Tindakan ayah ini membuat Mbakku tersinggung dan berang. Mbak Yuni bertengkar hebat dengan ayah dan Mbak Yuni pergi meninggalkan rumah setelah pertengkaran hebat itu.
            Setelah dua tahun pergi tanpa kabar kami menerima juga surat dari Mbak Yuni. Dalam suratnya Mbak Yuni baik-baik saja dan menyelesaikan S2 nya sambil bekerja. Meski hanya beberapa kali surat itu datang, ibu dan ayahku sedikit lega pasalnya mereka tahu kabar anak gadisnya meski Mbak Yuni tidak pernah memberikan alamatnya kepada kami. Sejak kepergian Mbak Yuni , ayah dan ibuku menyadari kekeliruan mereka . Mereka menyesal telah memaksa-maksa anak mereka untuk menikah.
            Semalam, tepatnya pukul dua dinihari ibu dikejutkan oleh suara ketukan pintu. Lebih terkejut lagi ternyata Mbak Yunilah yang datang. Ibu langsung saja memeluk erat Mbakku itu. Isak tangis ibu mengganggu kekhusuan qiyamul lailku. Ketika aku keluar kamar kudapati ayah, ibu, dan Mbak Yuni yang sedang berpelukan. Ya Robb, Mbak Yuni pulang. Terima kasih Allah. Alhamdulillah aku begitu merindukannya. Kakakku yang hilang. Kakakku kini kembali pulang.
                                                            ***
            Mbak Yuni masih menekuri lantai di hadapannya.
”Maafin Yuni ayah, ibu, maaf.”
Ibu mengatupkan bibirnya erat, matanya memejam memeras air mata di sumur hatinya. Aku tak tahu lagi apa yang bergejolak di hatiku. Marah? Ya, aku marah pada laki-laki yang menjadi bahan pembicaraan Mbakku. Sedih? Ya sangat sedih. Tak kusangka Mbakku harus mengalami dan menjalani semua sendirian.
”Yuni mohon ayah memafkan Mas Pras dan nikahi kami dengan sah, yah.”
”Mana laki-laki itu? Mana laki-laki yang seharusnya bertanggung jawab itu?”
Mbak Yuni tak menjawab. Hanya gelengan kepala yang kulihat. Ayah semakin marah mendengar jawaban Mbak Yuni.
”Yuni bisa cari dia yah, Yuni akan mencari dia.” jawab Mabk Yuni pada akhirnya dalam raungan dan isak tangis.
Ayah mendekati Mbak Yuni. Direngkuhnya bahu lemah Mbak Yuni. Ayah mengangkat dagu Mbak Yuni.
”Nduk, kamu kok bodoh begini? Ini bukan kamu Nduk, kamu tidak selemah ini Nduk. Mana kamu yang kuat? Mana kamu yang keras, Nduk?”
Tangis Mbak Yuni kembali pecah. Ayah melepas rengkuhannya dari bahu Mbak Yuni.
”Ayah tidak rela kamu menikah dengan laki-laki itu. Kalau kamu mau menikah dengan laki-laki itu artinya ayah rela kamu hidup dengan laki-laki sebrengsek itu. Jika dia tidak brengsek dia tidak akan melakukan ini padamu Nduk.”
”Tapi ayah, ini juga salah Yuni.”
”Jelas ini salahmu Nduk. Kamu sudah dewasa. Kamu tahu berzinah itu perbuatan laknat Nduk. Ayah yakin kamu pasti tahu.”
”Yun khilaf ayah, maafkan Yuni, ayah.”
”Kenapa kamu lakukan Yun? Kau tahu apa hukuman bagi pezinah?”
Mbak Yuni masih dalam raungan tangisnya.
”Hukum cambuk Nduk, hukum cambuk.”
”Cambuk? ”Suara Mbak Yuni meninggi. Mataku membelalak. Tak kusangka ayahku akan berkata seperti itu. Ayahku bukanlah orang yang kejam meski ayahku selalu tegas dalam setiap keputusannya.
”Kamu bukan tidak tahu hukuman berzinah kan, Nduk”?
Suara ayah seolah tertahan dan tersekat di tenggorokannya. Ayah semakin lemah . Ayah tersungkur di hadapan Mbak Yuni. Di rengkuhnya lagi bahu kakakku itu. Suara ayah berangsur semakin lemah.
”Kau tidak ingin Allah terus mengazabmu terus menerus kan, Nduk?Kau ingin dosa itu terus kau bawa hingga mati, Nduk?”
Aku berusaha memegang tangan ibuku yang semakin dingin . Aku yakin ibu tak sanggup mendengar semua ini.
”Sudahlah Nduk. Kamu tenangkan dirimu dulu. Ayah tak tahu lagi harus berbuat apa. Bertobatlah Nduk. Minta ampun pada gusti Allah. Perbuatanmu itu dosa besar Nduk. Menikah itu bukan solusi. Yang harus kamu pikirkan apakah Allah akan mengampuni dosamu itu, Nduk?”
”Ayah, maafin Yuni ayah. ”
”Bukan pada ayah kau mohon ampun, Nduk, tapi pada gusti Allah yang sudah kau khianati.”
            Tiba-tiba perasaan bersalah dan berdosa mengepung Mbak Yuni dari berbagai penjuru. Mbak Yuni limbung dan pingsan dalam pelukan dan isak tangis ibu. Aku hanya menyaksikan tragedi keluargaku dengan hati yang kelu. Robbana zholamna anfusana wa ilam taghfirlana lana kunana minal khosirin.
                                                          ***

 Dinginnya udara berpadu pada titik-titik air wudhu yang masih melekat pada wajah dan tangan Mbak Yuni. Sedingin hatinya yang terbanjiri pedih dan lara. Sujud penuh isak mengalir bersama permohonan maaf yang terlontar dari hati Mbak Yuni. Mbak Yuni merapatkan tangannya, gemetar penuh takut. Dosa dan salah terus berputar di atas kepalanya. Berkali-kali istighfar, tasbih, dan tahmid terucapkan olehnya. Hati Mbak Yuni semakin lara. Mbak Yuni sadar akan salahnya. Sadar akan dosanya. Bisa jadi ini adalah azab Allah baginya karena durhaka pada ayah dan ibunya. Atau buah dari perbuatannya selama ini?
                                                                        ***
            Kami semua berkumpul di ruang tamu. Mas Bagus, Mas Purwanto, Mbak Yuni, ayah, ibu, dan aku berada di rumah. Moment yang jarang terjadi kecuali hari raya. Mas Bagus terpaksa pulang karena ayah memintanya pulang. Mas Purwanto memang punya rencana pulang. Mas Pur ingin memohon restu ayah untuk pernikahannya. Lengkaplah kami di sini.
“Ayah, Yuni benar-benar tersiksa ayah. Yuni ingin menebus dosa Yuni, ayah. ”
”Yun, Allah maha pengampun bertobatlah nak, bertobatlah. ”
”Sepertinya tobat Yuni belum bisa menebus dosa Yuni. Yuni ingin menebus dosa Yuni dengan hukuman  cambuk.”
”Apa?”
Kami semua tersentak mendengar perkataan Mbak Yuni. Kami tahu Mbak Yuni sudah berdosa tapi, hukum cambuk? Mendengarnya saja merinding bulu kudukku.
”Yun, sudahlah. Mohon ampunlah pada Allah dan berjanjilah tidak akan mengulangi lagi. Mas pikir itu cukup. Biarlah Allah menyimpan aibmu ini. ” Mas Bagus buka suara.
”Tapi Mas, Yun belum lega Mas. Yun masih terus didera rasa bersalah karena dosa ini.”
“Yun mbok ya jangan macam-macam, Nduk.”
Ruang tamu hening. Kami sibuk dengan pikiran dan perasaan masing-masing. Mbak Yuni tidak lagi berurai air mata. Sepertinya semua yang diucapkanya diucapkannya dengan sadar tanpa emosi. Mbak Yuni begitu tegas dan lapang dengan keputusannya.
”Yah, bagaimana ini? Ibu tidak tega kalau Yuni harus dicambuk. Ibu tidak kuat melihatnya yah.”
Ayah terdiam. Kami semua menunggu jawaban yang akan diberikan ayah pada Mbak Yuni.
”Yun, maafkan ayah. Perkataan ayah soal hukum cambuk itu hanya untuk kau sadar akan dosamu, Nduk. Ayah juga tidak sampai hati jika kau melakukan itu. Atau jika kau memilih menikah dengan laki-laki itu, apakah menikah itu adalah solusi yang tepat,  Nduk? Ayah pikir jika kau menikah dengan laki-laki itu justru kau akan berada pada masalah baru yang pastinya lebih rumit lagi. ”
Ayah menyampaikan isi hatinya dengan perlahan. Terasa sekali betapa beratnya ayah menerima permintaan Mbak Yuni.
”Mbak, kita tidak tinggal di negara Islam, sepertinya sulit hal itu kita lakukan. Yang ada nanti kita bisa digugat lantaran melanggar HAM.” Mas Purwanto menimpali.
“Jadi apa yang harus Yun lakukan ayah? Dosa ini terus menghajar hati Yuni. ”
“Yang pasti kau harus bertobat Nduk, tobatan nasuhah. “
“Apakah mungkin ada yang mau mengabulkan keinginan Yun ini, ayah?”
“Sepertinya itu sulit Yun. Ayah pikir saat ini lebih baik kau jaga dan rawat bayi yang kau kandung Yun. Jangan sampai anak itu menjadi korban karena depresi. Dia tak bersalah yun.”
“Tapi ayah...”
“Ayah akan coba membicarakan ini pada Pakde Muslim. Ayah akan menanyakan bagaimana seharusnya ini dilakukan.”
“kalau begitu Yuni langsung saja yah yang bicara pada Pakde Muslim. “
            Kami semua tercenung dengan keputusan Mbak Yuni. Aku tak bisa membayangkan bagaimana ayah dan ibu jika kehilangan Mbak Yuni lagi. Mbak, kau pulang untuk pergi lagi. Haruskah cambuk itu meluluhlantakan tubuhmu Mbak?
                                                                      ***

Dua tahun tujuh bulan kemudian...
            Mbak Yuni sudah terlihat rapi dengan busana yang dipakainya. Senyumnya tak bisa menutupi keprihatinan jiwanya. Wajahnya yang semakin pucat dan kurus menambah keprihatinanku padanya. Syahidah menangis keras digendongannku. Bayi kecil dua tahun ini adalah anak Mbak Yuni. Sepertinya Syahidah paham betul apa yang terjadi saat ini. Tangisannya semakin keras. Mungkin Syahidah merasakan betapa pilunya hati sang bunda yang akan meninggalkannya. Mbak Yuni menitipkan Syahidah padaku. Mas Imron , suamiku mengizinkan aku merawat Syahidah. Semoga Syahidah menjadi anugerah yang indah bagi rumah tanggaku yang baru seumur jagung.
”Kutitipkan Syahidah kepadamu Lia, Jaga dia. Kalau Allah menghendaki suatu hari nanti aku akan kembali. ”
”Mbak Yun yakin akan tetap pergi?Akan tetap dengan keputusan Mbak?”
Mbak Yun mengangguk. Keputusan Mbak Yuni yang memilukan itu akhirnya tinggal menunggu hari untuk dijalani. Betapa keputusan yang sangat berat untuk keluargaku. Ibu ku pun meninggalkan kami dengan menyimpan masalah ini di batinnya dan membawanya pada pemakaman yang memilukan setahun lalu. Aku tahu pasti ayah pun sama beratnya menerima keputusan itu tetapi ayah tak bisa tidak mengikuti desakan Mbak Yuni. Ayah hanya ingin berada dalam bandul keseimbangan  antara ketegasan dan kasih sayang.
            Mbak Yuni tetap akan melaksanakan hukum cambuk tapi tidak di sini. Jauh di sana di tempat Pakde Muslim. Di sebuah pesantren kecil di daerah Kalimantan. Permintaan Mbak Yuni yang tak bisa dibendung membuat kami hanya bisa diam dan menerima keputusan itu. Hari ini Mbak Yuni pergi bersama Pakde Muslim ke sana. Tangisan Syahidah menambah pilu menuju kepergian Mbakku.
                                                                              ***
            Ayah masih dalam sujud panjangnya. Aku tak sampai hati mengganggu kekhusuan ayah. Aku masih mematung memandangi ayahku dari pintu kamarnya. Ya Allah aku tak sanggup. Aku tak kuasa menyampaikan hal ini pada ayah. Walau aku yakin apa pun berita tentang Mbak Yuni akan dengan ikhlas diterima ayah. Ya Allah ampuni Mbakku, ampuni ayahku. Ayah tersenyum dengan mata dan wajah yang memerah karena tangis.
”Biarlah Nduk, semua harus begini. Ayah benar-benar merasa berdosa pada Mbakmu. Kita ikhlaskan saja semua.”
            Aku tak kuasa meneruskan niatku memberi tahu ayah kalau Bude Muslim menelepon dan menyampaikan bahwa pesawat yang ditumpangi Mbak Yuni kecelakaan. Air mataku tak lagi sabar menerobos bendungannya. Raungan kecil dan isak tangisku pecah dipelukan ayah.


                                                             *SELESAI*





Mencoba mengantarkan masalah perzinahan yang banyak terjadi dengan solusi pezinah dinikahkan. Apakah itu solusi?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perang Majas ( Metode Permainan dalam Pembelajaran)

Asal –Usul Nama Kue Cucur (Cerita Rakyat Betawi ),

KONJUNGSI TEMPORAL