PINK DAN COKLAT BUKAN UNTUK VALENTINE
Kalimat itu sebenarnya
biasa-biasa saja, tapi entah aku yang sensitif atau karena sebab lain aku
tiba-tiba menjadi jengkel dengan celetukan anak didikku itu.
“Cie, ibu valentine nih ye? Pake pink.”
Meski jengkel aku tetap berusaha tidak
menunjukkannya pada anak didikku.
“Memang kenapa? Kalau pakai pink hari ini berarti
merayakan valentine?”
“Iya bu. Ibu
beli dong coklat saya, nanti ibu kasih sama orang yang ibu sayang, nanti
makin cinta deh.”
Semakin aku mengernyitkan dahiku mendengar
penjelasan muridku itu. Siswa SMA pun
fasih sekali dengan valentine day. Aku tersenyum mendengar itu dari siswaku.
“Perasaan ibu memang suka warna pink sejak dulu,
kamu lihat kan banyak barang-barang ibu yang berwarna pink. Tas ibu ini setiap
hari ibu pakai, berarti tiap hari dong ibu valentinan.”ledekku lagi.
“Eh iya. Berarti enggak ada hubungannya ya bu? Tapi
Ibu mau dong beli coklat buatan saya ini. Saya sampai begadang loh Bu, buat
coklat ini. Untungnya kan lumayan Bu, buat tambah-tambah uang bayaran.”
Ada desir lembut
menghantam perasaanku. Ada rasa banggaku pada anakku yang satu ini. Kesulitan
hidup menempanya menjadi mandiri dan kreatif. Apa pun yang halal bisa
dilakukannya pasti dilakukannya. Membuat coklat hanya sebagian kecil
keahliannya. Jiwa enterprenuernya itu luar biasa. Satu sisi aku prihatin dengan
valentin yang ada di benaknya. Satu sisi aku bangga dengan kemandiriannya.
Kuambil beberapa coklat buatannya.
“Ini ibu beli, tapi bukan karena ibu mau valentinan
ya. Ini lumayan buat anak-anak kecil di dekat rumah ibu. Pasti mereka suka.”
“Nah gitu dong bu berbagi kasih sayang di hari
valentin.”
“Eits...bukan karena valentine. Besok-besok kalau
ada kesempatan bu juga mau beli lagi.”
“Eh, iya deh bu. Bukan valentine. Terima kasih Bu.”
Mengapa
valentine begitu hebat dampaknya? Dasar televisi!Infotainment dan segudang
acara tidak bermutu itu. Hampir setiap acara televisi diselipkan pernak-pernik
valentine. Seolah valentine hari luar biasa yang harus dilaksanakan. Siapa yang
mengharuskan?
Tiba-tiba
Fijar, ketua ROHIS, datang ke ruanganku.
“Bu,Ibu sudah ditunggu di ruang aula. Acara
seminarnya sudah mau dimulai. Ibu yang membuka acara , kan?”
Astagfirullah. Hampir
saja. Aku lupa kalau aku harus membuka acara seminar yang diadakan anak
didikku. Mereka sudah mempersiapkan semuanya sejak sebulan lalu. Anak-anak
Rohis di sekolahku mengadakan seminar menolak valentine day di hari valentine.
“Ayo. Kita harus memanfaatkan peluang ini untuk
mengingatkan teman-teman kita.”
“Iya ,Bu. “
Alhamdulillah,
rupanya aku lumayan berhasil memprovokasi siswa-siwiku untuk tidak menganggap
valentine itu istimewa. Terbukti provokasiku membuat mereka memutuskan membuat
acara seminar menolak valentine day. Acara ini penting sekali buatku. Sebab
mungkin ini hanya salah satu cara saja menyadarkan kekeliruan besar ini. Masih
banyak yang harus dilakukan untuk mengubah pola pikir yang keliru.
Komentar
Posting Komentar