PELARIAN PIAH



Tinggal seminggu lagi masa cuti dari kantor sebelum aku kembali berjibaku pada rutinitas harianku. Sampai detik ini aku masih belum juga mendapatkan seseorang yang akan membantuku. Meski ada ibu, aku takkan bisa menyerahkan bayi kecilku pada ibu seorang di rumah. Sampai detik ini aku masih belum juga mendapatkan seseorang yang akan membantuku. Kalau kemarin-kemarin itu bukan persoalan bagiku. Aku merasa cukup mampu mengerjakan semua pekerjaan rumah dan pekerjaan kantor. Kalau sekarang? Aku benar-benar mengalah. Saat ini ada bayi kecilku yang membutuhkan  perhatian. Tak mungkin kukerjakan semua sendiri. Membayangkannya sepertinya aku takkan sanggup menjalani dua peran ini dengan maksimal.
Aku sudah mencoba mencari khadimat yang siap membantuku dan ternyata itu bukanlah persoalan mudah. Sekarang aku baru mengerti bagaimana perasaan Reni, teman kantorku, yang sering gonta-ganti pembantu lantaran berbagai sebab. Atau bagaimana bingungnya Bu Lia yang kerepotan tatkala pembantunya pulang kampung. Terakhir aku minta tolong pada Pak Bambang, teman suamiku, dan Pak Bambang berjanji akan menolongku. Aku masih menunggu janji Pak Bambang sambil menyebarkan informasi ke beberapa temanku.
                                                    ***
Aku memperhatikan gadis di depanku. Tubuhnya begitu kecil, aku taksir usianya belum lagi lima belas tahun bisa jadi baru dua belasan. Rambut panjangnya hitam sepunggung. Matanya hanya berani menekuri lantai di depannya. Seorang lagi adalah seorang bapak cukup umur. Kutaksir usianya lima puluhan.
”Maaf Bu, saya disuruh Pak Bambang ke alamat ini. Saya supir Pak Bambang.”
”Oh, iya, terima kasih. Sampaikan terima kasih saya pada Pak Bambang . Ini orangnya Pak? Masih kecil ya?”
”Ini kemenakan saya dari kampung. Anak yatim, masih ada tiga adiknya lagi yang masih kecil-kecil.”
Benar kamu mau kerja, nduk?”
”I...iya nyonya.”
Nyonya? Aku keberatan dengan panggilan itu.
”Jangan panggil nyonya. Panggil ibu saja ya? Siapa namamu?”
”Piah, Bu. Sofiah.”
Supir Pak Bambang memotong percakapanku
”Maaf Bu, kalau ibu menerima Piah, saya pamit pulang mau jemput Pak Bambang.”
Aku mempersilakannya. Orang tua itu meninggalkan kami berdua di ruang itu.
Ibu datang membawakan secangkir teh. Rupanya Dinda sudah tertidur.
“Ini anak yang mau kamu ambil Nis?Masih kecil ya?”
“Sepertinya iya Bu. Semoga dia bisa bantu kita ya Bu?”
            Kuteliti tubuh Piah. Apa yang bisa dilakukan anak sekecil ini? Apakah aku tidak keterlaluan mempekerjakan anak sekecil ini untuk urusan rumah tangga?Apakah tubuh kecilnya akan sanggup mengerjakan semua pekerjaan? Bukankah anak seusianya seharusnnya berada di sekolah? Belajar dan menuntut ilmu demi masa depannya kelak? Ah, Piah. Aku dalam dilema. Di satu sisi aku tidak tega ada anak masih dalam usia belajar harus bekerja. Di sisi lain sampai kini aku belum menemukan orang lain untuk membantuku sedangkan tiga hari lagi aku sudah harus kembali ke kantor untuk menjalankan tugasku, jadi aku benar-benar membutuhkanmu.
            Piah, Sofiah, anak tertua keluarganya. Kala ayahnya meninggal, otomatis mboknya yang menjadi tulang punggung keluarga. Masih ada tiga adiknya yang masih kecil-kecil. Si Mbok yang hanya kuli tani harian rupanya tidak sanggup menanggung beban hidup keluarganya ditambah hutang yang menumpuk untuk membiayai pengobatan suaminya yang sempat sakit parah sebelum meniggal. Si Mbok akhirnya menyetujui keinginan Haji Cholil untuk menjadikan Piah sebagai salah satu istrinya. Sayangnya usia Piah belum lagi lima belas tahun, tapi baru dua belas tahun itu juga baru genap tiga bulan lagi.
            Sekuat tenaga Piah menolak perjodohan itu. Piah sudah mengikuti keinginan Si Mbok untuk berhenti sekolah, tapi Piah tidak bisa menuruti Si Mbok lagi untuk perjodohan ini. Piah marah pada Si Mbok dan pada semua. Mungkin juga pada Gusti Allah yang telah mengambil ayahnya setelah seluruh harta benda keluarganya habis untuk membiayai perawatan sang ayah. Pada saat pamannya mengajaknya ke Jakarta, Piah langsung minta ikut. Padahal Piah tidak tahu bagaimana Jakarta. Piah benar-benar menggantungkan nasibnya pada pamannya yang merupakan supir Pak Bambang.
”Mbok, Piah akan nurut Si Mbok untuk kawin sama Pak Haji , tapi tidak sekarang Mbok. Nanti dua, tiga tahun lagi. Sekarang Piah mau ke Jakarta bantu Si Mbok cari duit.”
            Air mataku menitik kala Piah menceritakan kisah dirinya. Jadi pekerjaan ini adalah pelarian Piah dari masalah hidupnya. Aduh Nak, kamu masih terlalu muda untuk menanggung derita seberat itu. Kalau aku di posisimu mungkin tak sanggup menghadapinya.
”Kamu masih mau sekolah Pi?”
Wajah Piah berbinar malu-malu dijawabnya.
”Ya maulah Bu. Saya enggak mau jadi bodoh tapi apa saya bisa sekolah?”
”Ya, mungkin. Nanti kita lihat, apakah kita bisa usahakan nanti.”
Piah tidak menjawab hanya senyum membaluti wajahnya.
                                                             ***
Kehadiran Piah cukup membantuku. Memang tidak semua bisa ditanganinya dan itu aku maklum. Toh dia masih begitu kecil. Sesekali aku atau ibu harus turun tangan mengajarkan  Piah menyelesaikan pekerjaannya. Itu tidak ada artinya dibanding kehadirannya dalam hidup keluargaku.
Aku mencoba membujuk Mas Pram untuk mencarikan  solusi sekolah Piah. Mas Pram balik menanyakan niatku. Jika Piah sekolah bukankah justru aku yang keteteran? Kehadiran Piah di rumah ini untuk membantuku menjaga bayiku. Jika Piah sekolah , siapa yang akan membantuku?Ternyata niat baik saja tidak cukup. Harus dengan perhitungan  matang. Perasaan bersalah menjalar di dadaku. Mengapa aku mempekerjakan  anak seusia itu? Seharusnya kan aku membantu anak-anak seusia itu untuk mengenyam pendidikannya? Bagaimana mereka  itu bisa memperbaiki nasib mereka di kemudian hari? Jika dalam usia segitu mereka harus mengais riski tuk pertahankan hidup?
Dinda menggeliat di gendonganku. Malam ini cukup panas. Piah kuminta istirahat. Sepulang kantor tadi aku sempat ke Gramedia membeli beberapa buku untuk Piah. Untuk sementara, ini sajalah yang bisa aku lakukan. Hitung-hitung mengobati rasa bersalahku pada Piah telah mempekerjakannya di rumahku. Mas Pram kuminta membuat kopinya sendiri. Untungnya, masku itu begitu pengertian. Melihat kerepotanku memegang Dinda , Mas Pram  tidak terlalu menuntut dilayani.
                                                      ***
Kutekan tombol ponselku menghubungi rumah.
”Assalamualaikum Pi? Eyang ada?”
”Waalaikum salam. Ada Bu, eyang lagi nemenin Dinda. Ibu mau ngomong?”
”Iya, tolong ya Pi.”
”Assalamualaikum Bu, gimana Piah? Ndak merepotkan Ibu kan?”
“Oh ndak Nis. Ini ibu lagi nemenin Dinda. Piah sedang setrika.”
”Semua baik-baik saja kan Bu?”
”Iya, beres, tenang, ada ibu.”
Alhamdulillah. Aku bisa meneruskan tugasku di kantor dengan tenang. Laporan keuangan ini harus cepat kuselesaikan karena Bu Mia, atasanku itu, meminta aku menyelesaikan laporan ini dengan cepat. Mungkin aku masih mengalami sindrom cuti berkepanjangan rasanya kantor dan pekerjaanku begitu asing bagiku kini. Aku harus mendapatkan spiritku kembali. Oh semangat, datanglah...
            Ponselku bergetar karena memang aku membuatnya silent. Dari rumah. Ada apa ya? Apakah Dinda bermasalah? Atau Piah buat ulah? Semoga saja tidak sebab tadi waktu kutelepon semua baik-baik saja.
”Asalamualaikum, ya Bu ada apa?”
“Ini Nis, Piah kabur. “
“Kabur? Lah kok bisa? Bukannya tadi lagi setrika?”
”Iya, baru aja ada tamu nyariin dia. Ibu ngobrol sama tamu itu eh pas ibu panggil ternyata Piahnya kabur.”
”Oh, ya sudah bu nanti kita bicarakan di rumah. Wassalamualaikum.”
”Waaalaikum salam”
            Pikiranku tiba-tiba jadi tak karuan. Laporan di depanku menunggu diselesaikan. Sepertinya laporan ini takkan mungkin selesai cepat, aku menyerah dan melanjutkan pekerjaanku untuk besok.
                                                               ***
            Mas Pram mencoba menghubungi paman Piah di rumah Pak Bambang. Paman Piah tak tahu harus berbuat apa dan dia berusaha menghubungi keluarga Piah di kampung. Setelah beberapa hari kami mencari informasi tentang Piah kami tak mendapatkan apa-apa. Piah benar-benar menghilang. Piah kabur ketika seseorang datang ke rumah dan ternyata orang itu adalah orang suruhan Haji Cholil yang ingin menjemput Piah pulang. Rupanya Haji Cholil benar-benar berhasil memaksa Mboknya Piah untuk menyerahkan Piah padanya. Aku merasa bersalah  pada keluarga Piah sekaligus benar-benar keteteran. Sekarang, hanya ibu yang memegang Dinda saat aku bekerja sedangkan semua pekerjaan rumah harus aku bagi dengan  Mas Pram 
            Piah, di mana kau nak? Aku tak sanggup membayangkan kau di luar sana. Tanpa baju tanpa makanan apakah kau bisa bertahan di luar sana nak? Hatiku jadi marah dengan Mboknya Piah, sebegitu lemahnya wanita itu hinggga rela mengorbankan anaknya. Kenapa bukan dia saja yang kawin dengan haji itu? Kenapa harus anaknya yang masih sangat kecil? Kenapa tidak dia saja yang mencari kerja misalnya jadi TKW ke luar negeri? Dasar orang tua tidak punya hati. Astaghfirullah, aku bisa berkata seperti itu karena aku bukan dia, tidak dalam posisi dia. Seandainya juga aku  yang menjadi Mboknya Piah belum tentu aku bisa melakukan hal terbaik untuk anakku. Ya Allah,  semoga aku bukan orang-orang yang tidak memakai hati kala memutuskan sesuatu. Ya Allah lindungi anak itu di mana pun kini dia berada.
                                                                        ***
            Remote teve itu masih dalam genggaman Mas Pram. Mas Pram berkali-kali mengganti chanel teve. Rupanya tayangan di stasiun teve itu belum ada yang mampu membuatnya fokus pada satu channel saja. Sesekali diseruputnya teh yang dibuatnya sendiri. Biskuit kacang favoritnya menemani teh itu untuk disantapnya. Barang kali ini adalah sore terlangka dalam kehidupan aku dan Mas Pram. Jarang-jarang kami bisa agak santai berdua di rumah menikmati indahnya sore. Kusuapi Dinda  dalam trollynya. Tawa kecilnya menyejukkan jiwaku. Sesekali kugelitik kaki mungilnya. Dinda menggeliat kegelian. Rinai tawa kegelian mengembangkan senyumku. Sejak pagi ibu pergi ke rumah Wak Tinu menengok anaknya yang baru saja melahirkan. Rupanya tayangan berita yang kini jadi fokus Mas Pram. Aku masih asyik dengan Dinda sambil mendengar berita sepintas. Tiba-tiba Mas Pram menambah volume teve.
”Nis, kok mirip Piah?”
”Apa Mas?”
”Itu, foto itu.”
”Piah, iya Mas, Piah.”
“Apa mungkin Piah melakukan itu Nis?”
Dari berita itu kami melihat foto Piah terpasang cukup jelas. Seorang anak digiring sambil berurai air mata. Banyak masyarakat menyaksikan kami tak bisa melihat gambar anak itu dengan jelas. Seorang anak telah membunuh seorang bapak. Bapak yang diduga adalah suami anak tersebut  terkapar penuh darah. Amarah sang anak tak terbendung lagi rupanya. Setelah dipaksa untuk menikah dengan sang bapak, si anak membunuhnya.
            O, Piah, seberani itu kau nak? Aku merinding membayangkan anak sekecil Piah melayangkan sebilah belati ke perut seorang bapak. Aku tak kuasa membayangkan betapa kemarahan Piah yang memuncak. Aku tak habis pikir seorang Piah mampu melakukannya. Jari-jariku gemetar. Bibirku kelu. Tangisan Dinda  pun tak aku gubris.
”Mas, ini Piah yang kita kenal kan?”
Mas Pram tak menjawab. Mas Pram masih fokus pada berita tersebut. Mas Pram beranjak menuju Dinda dan mengangkatnya dalam gendongannya berusaha menenangkan Dinda. Aku mencoba menghubungi Pak Bambang untuk mengetahui kejelasan berita yang aku lihat. Pak Bambang menyambungkannya dengan supirnya. Ternyata memang yang aku saksikan tidak salah. Setelah dua minggu kabur dari rumahku, Piah kembali ke rumahnya. Sang ibu kembali memaksanya menikah dan dia mengikuti semua keinginan sang ibu. Setelah menikah sang paman tak pernah lagi mendengar berita soal Piah. Baru besok dia akan pulang kampung lagi.
            Mas Pram masih merangkulku, mencoba menenangkanku. Aku merasa sedih dengan apa yang terjadi pada Piah. Aku merasa bersalah tak bisa membantu dan menolongnya. Belum lagi janjiku untuk menyekolahkannya. Piah benar-benar cukup menguras energiku.
            Sebuah surat tanpa alamat kini di tanganku. Surat itu lusuh dan sepertinya sudah lama. Aku baru menemukannya di tumpukan koran-koran bekas.
Ibu, tolong Piah, Piah ndak berani pulang ke rumah ibu. Piah takut, dan Piah tidak tahu harus pulang kemana. Tolong aku ibu.
 Piah

                                                                        ***
            Piah hanya menatapku. Aku tak kuasa melihat keadaannya kini. Matanya lelah, takut, dan aku tak tahu lagi perasaan apa yang ada padanya. Aku malah merasakan kemarahan yang tertahan dari matanya. Piah tidak membiarkanku berkata-kata padanya. Ditaruhnya telunjuknya itu di depan bibirnya mengisyaratkan agar aku diam.
”Bu, tenang, Piah baik-baik saja . Semua akan berlalu dengan bahagia. Aku akan sekolah tenang saja.”
Bibirku kelu, hanya air mata yang mewakili segala perasaan hatiku kini. Kupeluk Piah merasakan hatiku-dan hatinya bersatu dalam kepiluan.
                                                          *selesai*

           
           
           
           

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perang Majas ( Metode Permainan dalam Pembelajaran)

Asal –Usul Nama Kue Cucur (Cerita Rakyat Betawi ),

KONJUNGSI TEMPORAL