Asal –Usul Nama Kue Cucur (Cerita Rakyat Betawi ),
gambar by google
cerita by Ade Ganiarti
Sejak
dahulu Tanah Betawi sudah ditinggali oleh orang-orang dari berbagai wilayah di
dunia. Jangan heran, di Betawi ada orang Cina, orang Jawa, orang Sumatera, orang
Arab, orang Belanda, ataupun orang Keling. Mereka datang ke Betawi dan menetap
membentuk kampung-kampung di wilayah Betawi. Berbagai suku dan bangsa itu
saling berdampingan satu sama lainnya.
Di
salah satu kampung di Betawi itu, yaitu Kampung Senen, hiduplah sepasang suami
istri yang hidup harmonis. Orang-orang di Kampung Senen melihat mereka sebagai
pasangan yang setia. Sang suami bekerja sebagai pedagang di pasar. Sang istri
selalu menemani suaminya tatkala berdagang.
Mereka
bukan orang Cina, tetapi kerja keras mereka seperti layaknya pedagang-pedagang
cina yang saat itu juga berdagang di pasar. Pagi-pagi sekali mereka sudah pergi
ke pasar. Mereka pulang saat hari sudah benar-benar sore. Dari kerja keras
mereka, mereka memiliki beberapa hektar sawah dan perkebunan. Sawah dan
perkebunan yang mereka miliki diurus oleh keluarga terdekat mereka.
Meskipun
memiliki harta yang berlimpah, sepasang suami istri ini merasa ada yang kurang
dalam kehidupan mereka. Mereka sudah bertahun-tahun berumah tangga, tetapi tak
seorang pun anak kandung yang mereka miliki. Mereka sangat mengharapkan
kehadiran anak kandung di tengah-tengah mereka untuk melengkapi kebahagiaan
mereka.
“Sudah puluhan
tabib dan dukun kita datangi, Nyai. Sampai sekarang kita belum dikaruniai anak
juga, “kata Tuan Sabeni pada istrinya.
“Iya, Bang.
Apalagi yang harus kita lakukan?Aku pun hampir
putus asa, “ jawab istrinya.
“Apa dosa kita,
Nyai?Sampai Tuhan tidak mengizinkan kita
memiliki satu pun anak kandung,” Tuan Sabeni menarik napas.
“Aku pun tak
tahu, Bang. Kita bisa saja mengambil
anak di pasar untuk dijadikan anak kita, tetapi aku masih ingin memiliki anak
kandung. Anak kandung sendiri,” jawab
Sang Istri.
“Mungkin kita
kurang berdoa, Nyai. Bisa jadi sedekah kita untuk orang tak punya masih kurang,
Nyai, “ kata Tuan Sabeni lirih.
Suami istri itu
terdiam. Mereka pun berpikir keras usaha apalagi yang bisa mereka lakukan untuk
memiliki seorang anak kandung.
***
Pada suatu pagi yang cerah, Nyai
Saimah masih berada di rumahnya. Hari itu Nyai Saimah tidak ikut suaminya ke
pasar. Tuan Sabeni sudah berangkat ke pasar pagi-pagi sekali. Nyai Saimah
berencana mengurus dan merawat kebun kecil di depan rumahnya. Nyai Saimah
menyiram dan merapikan tanaman-tanaman yang ada di sana. Tanaman-tanaman itu
ditata sedemikian rupa hingga terlihat rapi dan asri. Bunga-bunga yang sedang
bermekaran seolah sedang berterima kasih pada Nyai Saimah. Karena pagi yang
cerah ini mereka mendapat kesegaran dari tetesan-tetesan air yang disiram Nyai
Saimah pada mereka. Mereka pun seolah bersyukur pada Tuhan yang memberikan
keceriaan sinar matahari pada mereka.
Tatkala Nyai Saimah menyiram
tanaman-tanaman di taman itu tiba-tiba seorang nenek menghampiri pagar kayu
rumahnya.
“Assalamulaikum
, Nyai, “ kata nenek itu.
“Waalaikum
salam, ada perlu apa, Nek?” jawab Nyai Saimah yang menghampiri Sang Nenek.
“Tolong saya
Nyai. Saya lapar sekali. Sejak kemarin belum ada makanan yang masuk ke perut
saya,” jawab Sang Nenek.
Nyai Saimah
memperhatikan nenek itu. Tubuhnya kurus.
Bajunya terlihat lusuh. Kerut-kerut di wajahnya tampak jelas sekali. Nenek itu
tampak kelelahan.
“Oh, Silakan
masuk ke dalam Nek. Saya punya makanan yang bisa Nenek makan,” Nyai Saimah
menuntun nenek itu ke dalam rumahnya.
“Silakan Nenek
duduk dulu di sini. Saya ambilkan makanan untuk Nenek, “ kata Nyai Saimah lalu pergi ke dapur
mengambil sepiring makanan.
“Makanlah, Nek.
Pagi ini saya hanya masak begini. Silakan dimakan, “ Nyai Saimah memberikan makanan
dan minuman ke nenek itu.
Nenek itu makan dengan lahap.
Rupanya nenek itu benar-benar sedang lapar. Nyai Saimah senang melihat nenek
itu makan dan senang hari ini dia bisa berbuat kebaikan pada orang lain.
“Terima kasih
Nyai. Nyai baik sekali, “ Kata nenek itu selesai makan.
“Rumah Nyai besar dan bagus. Sayangnya terasa
sangat sepi. Apakah Nyai tinggal sendirian di rumah yang besar ini?” tanya
nenek itu kepada Nyai Saimah.
“Suamiku masih
di pasar. Aku hanya tinggal bersama suamiku,” jawab Nyai Saimah.
“Kemana
anak Nyai? Mengapa tidak tinggal bersama
Nyai?” tanya nenek itu lagi.
Wajah Nyai
Saimah menjadi murung.
“Kami sudah
bertahun-tahun menikah. Tapi... Tuhan belum mengaruniai kami seorangpun
anak kandung, “ jawab Nyai Saimah lirih.
“Bersabar Nyai,
aku yakin Nyai dan Tuan akan mendapatkan kesempatan itu. Aku yakin Nyai dan
Tuan pasti sudah berusaha untuk mendapatkannya. Hanya Tuhanlah yang dapat
mewujudkan keinginanmu itu. Sebab hanya Tuhanlah yang punya hak menciptakan,
menghidupkan, bahkan mematikan, “ nenek
itu berkata lagi.
“Iya, Nek.
Doakan kami ya, semoga Tuhan mengabulkan doa yang terus-menerus kami panjatkan.
Semoga Tuhan berkenan menganugerahi kami anak kandung. Seandainya Tuhan memberi kesempatan kami
memiliki anak kandung walaupun hanya seorang saja, kami sudah sangat bersyukur,”
jawab Nyai Saimah.
“Jangan berhenti
berdoa dan meminta Nyai. Jika sudah waktunya pasti doamu akan terkabul. Dan
satu lagi Nyai. Banyaklah memberi pada orang yang membutuhkan. Bersedekahlah, ”
Kata nenek tua itu.
“Seandainya
Tuhan memberi anak padaku, walaupun cuma seorang, aku akan sangat
menyayanginya. Akan kubahagiakan dia. Tak akan sedikit pun kulukai hatinya.
Akan kupenuhi semua permintaannya. Aku ingin anakku bahagia selalu nanti,” ucap
Nyai Saimah. Matanya menerawang membayangkan kebahagiaan yang akan diperolehnya
jika Tuhan memberinya seorang anak.
“Oh iya, Nek.
Tunggu di sini. Aku akan ke dalam sebentar, ” Nyai Saimah beranjak ke dalam
kamarnya. Diambilnya beberapa potong
pakaian yang masih bagus untuk diberikan pada nenek itu. Terkejut Nyai Saimah ketika dia kembali ke
ruang depan, nenek tua itu sudah tidak ada lagi di ruang itu.
“Loh? Kemana
Nenek itu? Pintu pagar dalam keadaan tertutup. Aku tidak mendengar suara apa
pun dari dalam tadi. Kemana perginya Nenek itu? Kejadian yang aneh, “ Nyai
Saimah termenung dengan kejadian yang baru saja dialaminya. Nyai Saimah teringat pada pesan nenek itu
untuk bersabar, berdoa, dan bersedekah. Pesan itu teringang-ngingang di telinga
Nyai Saimah. Mungkin Tuhan ingin dia lebih banyak lagi berdoa dan bersedekah
serta berbagi pada orang-orang di sekitarnya walaupun berbagi pada sesama
adalah hal yang sangat sering dilakukannya. Bagi Nyai Saimah berbagi adalah
perbuatan yang sangat menyenangkan. Perbuatan yang membuat pelakunya merasa
bahagia.
***
Tuan Sabeni dan Nyai Saimah masih
terus berusaha dan tak henti berdoa. Hingga Tuhan yang Mahakuasa pun
mengabulkan doa-doa yang selalu mereka panjatkan. Tidak beberapa lama kemudian
mereka dikaruniai anak perempuan yang sangat cantik. Kecantikan putrinya itu
membuat Nyai Saimah bangga dan senang. Mereka pun memberi nama putri cantik
mereka dengan nama Aisyah. Mereka sangat bahagia dengan karunia Tuhan ini. Tuan
Sabeni dan Nyai Saimah pun sangat menyayangi putri semata wayangnya itu. Apa
pun yang diinginkan putrinya itu nyaris tak pernah mereka tolak. Mereka selalu
mengabulkan semua keinginan putri semata wayang mereka.
Aisyah tumbuh menjadi gadis cantik
yang manja. Dia selalu mendapatkan apa pun yang diinginkannya. Aisyah tidak
melakukan pekerjaan rumah sedikit pun karena apa pun yang ingin dilakukannya
tinggal minta dilayani oleh para pelayannya. Kerja gadis cantik ini hanya
bersolek dan bermain saja. Hampir setiap saat di tangannya ada sebuah cermin
yang selalu dibawanya kemanapun. Aisyah tidak ingin jika sampai wajahnya yang
cantik terlihat tidak menarik di mata orang-orang.
Aisyah tidak memiliki banyak teman.
Hal itu dikarenakan Aisyah suka memilih-milih teman. Jika bukan dari kalangan
orang berada, Aisyah tidak mau berteman dengannya. Hanya anak orang kaya dan
cantik yang dijadikannya teman. Aisyah tidak peduli pada cibiran dan gunjingan
orang-orang sekelilingnya yang tidak suka pada perangainya itu.
***
Suatu
hari saat Aisyah dan kedua temannya sedang bermain, Sadiah berkata padanya
“Aisyah, malam
nanti akan ada pasar malam, bagaimana kalau kita pergi ke sana? Di sana kita
bisa membeli baju-baju yang indah serta banyak makanan lezat, “ tutur Sadiah.
“Akankah ramai?
Apakah ada yang menjual perhiasan di sana?Aku ingin sekali melihatnya,” jawab
Aisyah.
“Mungkin saja.
Kita pergi bertiga. Aku, Kau, dan Alimah,” kata Sadiah.
“Baik, aku akan
minta seorang pelayan untuk menjaga kita. Kita naik bendi ke sana,” jawab
Aisyah.
Malam harinya mereka pergi bertiga
diantar kusir bendi ke pasar malam itu. Mereka bersenang-senang di keramaian
pasar malam itu. Di tempat itu banyak di jual baju-baju, perhiasan, makanan dan
banyak lagi. Ada permainan-permainan juga di sana. Aisyah, Sadiah, dan Alimah
sangat menikmati kemeriahan pasar malam itu. Tanpa mereka sadari malam terus
beranjak. Tiba-tiba Alimah berkata pada Sadiah.
“Sadiah, mana
Aisyah? Bukannya tadi bersamamu?”
“Loh? Bukannya
tadi bersamamu?” jawab Sadiah.
Aisyah tidak lagi bersama
kawan-kawannya. Aisyah tersesat di keramaian pasar malam itu. Aisyah bingung
dan ketakutan. Aisyah tak dapat menemukan teman-teman serta kusir bendinya. Untunglah
ada seorang pemuda yang menolongnya untuk mencari teman-temannya. Setelah lelah
mencari akhirnya Aisyah menemukan bendi miliknya. Sang kusir merasa senang
karena Aisyah dapat ditemukan. Itu
artinya Nyai Saimah tak akan memarahinya karena tak menjaga anak majikannya
itu. Sang kusir sangat berterima kasih pada pemuda itu. Sang kusir pun segera
mengantar Aisyah dan kedua temannya pulang. Mereka senang bisa pulang dengan
selamat. Nyai Saimah langsung memeluk putrinya. Nyai Saimah cemas menunggu kepulangan
Aisyah, putri semata wayangnya.
***
Usia Aisyah semakin dewasa. Nyai
Saimah dan Tuan Sabeni mulai memikirkan jodoh putri kesayangan mereka. Semakin
hari Nyai Saimah dan Tuan Sabeni semakin
tua. Mereka mengkhawatirkan masa depan putri kesayangan mereka. Mereka
khawatir, jika mereka tidak ada lagi siapa yang akan menjaga Aisyah. Mereka pun
mulai mencarikan jodoh untuk Aisyah.
Ada beberapa pemuda yang sebenarnya
memikat hati Tuan Sabeni untuk dijadikan calon menantunya. Ada Ahmad, pemuda
turunan Arab yang sangat tampan dari kampung sebelah. Ada Tan Kim, pemuda
Tionghoa yang sangat pandai dalam berniaga. Ada Joko, pemuda Jawa yang punya
kepribadian menawan, dan ada beberapa pemuda lain yang hendak dikenalkan pada
putrinya. Sayangnya Aisyah tak menggubris keinginan ayahnya itu. Aisyah merasa
berat jika harus meninggalkan ayah dan ibunya. Nyai Saimah pun membujuk
putrinya agar mau segera menikah.
Suatu hari seorang Nyai dari Lebak
Bulus mendatangi keluarga Tuan Sabeni. Nyai Lela adalah sahabat Nyai Saimah
saat kecil. Nyai Lela bermaksud meminang putri Nyai Saimah untuk putra
bungsunya. Awalnya Aisyah keberatan dengan pinangan ini. Nyai Saimah
membujuknya untuk menerima karena Nyai Lela adalah sahabat baiknya sejak kecil.
“Ibu idak
khawatir jika kau menjadi menantu Nyai Lela. Nyai Lela orang yang baik dan
pandai memasak. Kau bisa makan makanan lezat setiap hari,” bujuk Nyai Saimah.
“Jadi aku tak
perlu khawatir soal makanan maksud Ibu?” Aisyah mulai goyah.
“Baiklah Bu, aku
menerima pinangan itu. “
Jodoh memang tak
bisa ditebak. Ternyata putra Nyai Lela yang akan ditunangkan dengan Aisyah
adalah pemuda baik yang menolong Aisyah saat tersesat di pasar malam. Namanya
Gofur . Aisyah merasa tak perlu khawatir karena Aisyah yakin pemuda itu
pastilah pemuda yang baik. Selain baik, pemuda itu berasal dari keluarga kaya.
Itu artinya dia tak perlu khawatir menjadi miskin atau pun harus bekerja keras. Pastinya Nyai Lela punya
banyak pelayan seperti keluarganya.
Keluarga Tuan Sabeni sangat bahagia.
Putri kesayangan mereka akhirnya menikah dengan pemuda pilihannya. Pernikahan
pun berlangsung meriah. Demi putri semata wayangnya, Tuan Sabeni rela
menghabiskan banyak uangnya untuk pernikahan putrinya itu. Pesta pernikahan
dibuat sangat mewah dan menghabiskan uang yang tidak sedikit demi kebahagiaan
Aisyah.
Tamu-tamu yang hadir merasa bahagia.
Mereka melihat Aisyah dan Gofur sebagai pasangan pengantin yang serasi. Aisyah
sangat cantik , sedangkan Gofur sangatlah tampan. Semua undangan terkagum-kagum
dengan kemeriahan pesta pernikahan putri kesayangan Tuan Sabeni.
Setelah
menikah, Aisyah tinggal bersama Gofur di rumah keluarga Nyai Lela. Keluarga
Nyai Lela menyambut dengan gembira kedatangan menantunya itu. Aisyah merasa
sangat beruntung mendapat sambutan yang hangat dari keluarga Nyai Lela.
Berbagai makanan lezat disediakan untuk menyambut menantunya itu. Nyai Lela
terkenal sebagai ahli masak yang handal. Kelezatan masakannya cukup termasyur
di Lebak Bulus. Nyai Lela pun sering diminta untuk membuatkan makanan bagi
kerabatnya atau keluarga terpandang di daerahnya yang sedang hajatan.
Pada
suatu hari Nyai Lela mendapat kabar bahwa ada kerabat Nyai Lela yang akan
berkunjungke rumahnya. Nyai Lela berencana akan menjamu kerabatnya yang akan berkunjung. Nyai Lela mengajak
Aisyah ke dapur.
“Hari ini
kerabat kita dari Condet akan datang. Kita harus menjamu tamu-tamu kita itu
dengan baik. Kita akan menyediakan makanan lezat untuk mereka. Ibu harus ke
pasar. Ibu mohon bantuanmu untuk membuat kue cincin. Bahan-bahannya sudah ibu
sediakan,” kata Nyai Lela .
“Kue? Membuat
kue?” jawab Aisyah kebingungan.
“Ya, pagi ini
semua pelayan tidak ada di rumah. Tinggal Kau dan ibu yang ada. Kita bagi
tugas. Ibu ke pasar dan kau membuat kue, “ jawab mertua Aisyah.
Aisyah terpana.
Tak tahu harus berkata apa lagi.
“Baiklah. Ibu
pergi dulu. Kamu baik-baik saja ya di rumah, “ Nyai Lela beranjak menuju pasar.
Aisyah terdiam dan bingung. Apa yang
harus dilakukannya?Mau tidak mau dia harus membuat kue cincin. Aisyah tidak mengerti
cara membuatnya. Dipandanginya bahan kue di
hadapannya. Air matanya mulai menetes perlahan.
“Bagaimana aku
harus membuatnya? Aku tak pernah sekali pun memasak di dapur, “ bisik batin
Aisyah dalam batinnya.
“Apa yang harus
aku lakukan dengan bahan-bahan ini?” keluhnya dalam batin.
Aisyah semakin
kebingungan sementara waktu terus berjalan.
“Aku harus
membuatnya. Harus! Ya harus! Aku harus membuatnya sebisaku. Kucampur saja
bahan-bahan ini, “ pikir Aisyah.
Aisyah
pun mencampur bahan-bahan di depannya. Dengan perasaan campur aduk Aisyah
membuat kue itu. Sesekali Aisyah menyeka air matanya. Aisyah menyesal mengapa
sedari dulu dia hanya bermalas-malasan saja. Tidak pernah dia membantu
pekerjaan rumahnya sedikit pun. Ada banyak pelayan yang siap melayaninya.
Aisyah tinggal menyuruh saja. Aisyah pikir tinggal dengan keluarga kaya
pastilah dirinya akan bahagia tanpa harus bekerja apa-apa. Ternyata Aisyah salah. Kalau saja sejak dulu
dia mau belajar membantu pekerjaan rumahnya walaupun cuma sedikit. Mungkin dia
tak akan sebingung sekarang. Setidaknya dia bisa melakukan pekerjaan di dapur.
Aisyah
teringat akan ibunya, Nyai Saimah, yang selalu memanjakan dan melayaninya. Air
matanya bercucuran menerima nasibnya kini. Aisyah terus menyelesaikan kue
buatannya sambil bercucuran air mata.
Belum
selesai Aisyah membuat kue itu, Nyai Lela ulang dari pasar dan mendapati
menantunya yang berantakan dan menangis. Kue pesanannya pun tidak ditemukannya.
Hanya ada kue yang berbentuk bundar pipih berwarna coklat kehitaman. Nyai Lela
terkejut dibuatnya.
“Aisyah.... apa
yang kau buat?” tanya Nyai Lela . Aisyah tidak menjawab. Dia hanya menggeleng
dan air mata masih bercucuran di pipinya. Nyai Lela menghampiri Aisyah,
menghapus air matanya.
“Kau tak bisa
membuat kue cincin?” tanya Nyai Lela.
“Maafkan aku Ibu.
Aku tak bisa membuatnya. Aku tak biasa bekerja di dapur,” jawabnya lirih
ketakutan.
“Kau tak pernah
membantu ibumu di dapur?” tanya Nyai Lela lagi.
“Tidak, Bu.
Semua kebutuhanku dilayani oleh pelayan di rumah. Aku tinggal menyuruhnya,” jawab
Aisyah lagi.
Nyai Lela
terpana mendengar jawaban menantunya. Nyai Lela menarik napasnya dan cepat
menghembuskannya kembali. Nyai Lela tertegun sebentar, lalu berkata dengan
bijak.
“Baiklah Aisyah,
yang terjadi sudahlah terjadi. Kue yang buat ini lumayan juga rasanya. Apa
namanya?” tanya Nyai Lela.
Aisyah
menggeleng.
“Kau memasaknya
sambil menangis bercucuran air mata. Bagaimana kalau kue ini kuberi nama kue
cucur?” kata Nyai Lela.
Aisyah tak menjawab.
Isak tangisnya mulai reda tetapi air matanya masih perlahan menetes di
wajahnya.
“Maafkan aku
Ibu, aku berjanji akan belajar dan bekerja, ” kata Aisyah terisak.
“Aisyah, belajar
dan bekerja keras itu bukan untuk orang lain. Kita sendiri yang akan merasakan
manfaatnya. Kita tidak bisa selalu mengandalkan orang lain untuk urusan-urusan
yang bisa kita lakukan sendiri,” kata Nyai Lela.
“ Maafkan aku
Ibu, maukah Ibu mengajariku?Aku mau belajar pada Ibu,” kata Aisyah.
“Aisyah
menantuku. Tidak ada manusia yang sempurna. Aku sangat menyayangi anakku, dan
aku akan menyayangi orang disayang oleh anakku. Aku bersedia mengajarimu semua
itu asal Kau sungguh-sungguh mau belajar,” jawab Nyai Lela.
“Aku mau, Bu.
Kumohon Ibu mau sabar membimbingku,” kata Aisyah.
“Sudahlah. Kue
cucur buatanmu ini enak juga. Kita lanjutkan memasak yang lain. Jika ada yang
bertanya apa nama kue ini katakan saja ‘ini kue cucur’, kue cucur ini kue yang
cukup lezat kurasa,” kata Nyai Lela.
“Baik Bu, semoga
tamu-tamu kita menyukai kue cucur ini.
Kue cucur ini akan menjadi pengingatku bahwa kemanjaan dan kemalasan hanya akan
menyusahkan diri kita sendiri,” jawab Aisyah.
Nyai Lela mengajarkan cara bekerja
di dapur pada Aisyah. Meski tak mudah, Aisyah mengikuti dan memperhatikannya.
Aisyah berjanji untuk mengubah kebiasaan pemalasnya dan mau belajar untuk
hidupnya. Aisyah sadar betul kemalasan dan sikap manja ternyata hanya membuat
diri sendiri menjadi susah. Jika sejak dini kita terbiasa melakukan pekerjaan
akan terbawa hingga kita dewasa. Itu
sangat bermanfaat untuk diri kita sendiri.
selesai
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus