Danang Jadi Dalang (Cerpen juara III Perpusnas 2014)
gambar foto by :google
oleh : Ade Ganiarti
Terik
matahari begitu menyengat. Danang berjalan sendirian di gang itu. Sebuah kaleng
bekas minuman ditendangnya hingga terpental berkali-kali tak tentu arah seperti
bola, pasrah tak bisa-bisa. Wajah Danang tak seceria biasanya. Siang itu
sepertinya menggambarkan hatinya yang panas juga.
Danang
kesal sekaligus iri pada Charles sebab ketika di sekolah tadi Charles
menyampaikan rencana liburannya. Tidak tanggung-tanggung, Disneyland. Semua orang tahu Disneyland itu
tempat yang sangat keren. Danang membayangkan betapa kesalnya bila melihat
foto-foto Charles di Disneyland nanti yang pasti akan diunggah Charles di
internet.
“ Mana salamnya,
Nang? Kok masuk rumah tidak mengucapkan salam?”
Bunda bingung
dengan sikap Danang. Danang selalu mengucapkan salam jika masuk rumah.
“Assalamualaikum...”
Wajah Danang
masih terlihat kesal. Bunda tersenyum ke arahnya.
“Anak bunda
kenapa ya?kok kelihatannya sedang kesal.”
Danang tak
menyahut. Dibantingnya badannya ke sofa. Dengan wajah cemberut seperti itu pasti
Danang punya masalah.
“Ini minum dulu. Biasanya es limun bisa
membuat dingin hati yang sedang panas.”
Danang
menerimanya tetapi tidak langsung meminumnya.
“Minumlah...Bunda
buat sendiri loh.”
Danang menahan
napas dan menghembuskannya dengan cepat. Diminumnya es limun itu. Betul juga,
es limun buatan Bunda tidak ada tandingannya. Benar-benar bisa mendinginkan
tenggorokan yang panas termasuk hati yang panas karena kesal.
Bunda tersenyum melihat Danang yang
asyik menikmati es limun buatannya.
“Kamu sudah
tidak kesal lagi, kan? Sebaiknya sekarang kamu sholat Zuhur setelah itu kita
makan sambil cerita tentang sekolah, bagaimana?Setuju?”
Danang
mengangguk dan bangkit dari duduknya menuju kamar.
***
Danang dan Bunda makan di ruang
makan sambil bercerita.
“Oh, jadi kamu
iri pada Charles? Bagaimana kalau ke tempat lain?Dufan misalnya.”
“Dufan?
Danangkan sudah dua kali ke sana Bun.”
“Ya, kalau gitu
di rumah saja. Bantuin Bunda jualan es limun, hehehe.”
“Bunda......”
***
Danang belum tidur. Tiba-tiba ayah
masuk ke kamarnya.
“Danang belum
tidur? Danang sedang apa?”
“Belum yah.
Danang tidak bisa tidur. Danang belum mengantuk.”
“Kamu masih
memikirkan soal Disneyland ya?Kata Bunda kamu minta pergi Disneyland. Ayah ke
sini mau kasih tawaran nih.”
“Tawaran apa?
Dufan lagi? Danang bosan yah. Sudah dua kali ke sana.”
“Bukan. Ayah mau
ajak kamu ke Sukabumi Kita jenguk Aki Sastra.”
“Aki Sastra?
Siapa itu? Sukabumi itu kampung kan, yah?”
“Iya, di
kampung. Aki Sastra itu orang tua angkat ayah yang mengurus ayah waktu kecil. Sekarang Aki Sastra
sedang sakit.Ayah dapat kabar dari Tante Lilis, anak Aki.”
“Tapi itu
kampung yah, apa kerennya?”
“Rumah Aki luas.
Banyak pohon buah-buahan. Dulu ayah sering memanjat pohon, sampai ke cabang
paling tinggi loh.”
“Panjat pohon?Ayah
berani? Tidak takut jatuh?”
Danang heran dan
penasaran.
“Dulu kan ayah
masih kecil. Tubuh ayah masih ringan dan lincah. Jadi, ayah jago panjat pohon.”
“Ayah kangen
sama aki Sastra. Sudah lama sekali ayah tidak bertemu dengan beliau. Kamu mau
temani ayah ke sana kan?Ayah sudah ambil cuti seminggu. Bareng dengan liburan
kamu. Mau ya?”
Sepertinya ayah
benar-benar kangen dengan orang tua angkatnya. Danang mengangguk.
“Oke deh. Tapi
ajari Danang panjat pohon ya, yah?”
Ayah tersenyum
dan mengangguk.
***
Akhirnya Danang dan keluarganya
sampai juga di rumah Aki Sastra. Mereka menemui aki Sastra yang sedang terbujur
lemah di kasurnya. Ayah dan Bunda mencium tangan aki. Aki Sastra memandangi Danang dan tersenyum ke
arahnya.
“Ini Danang Ki,
sekarang sudah besar.”
Ayah meminta
Danang mendekat ke Aki. Danang mencium tangan Aki.
“Besok kalau Aki
sehat kita jalan-jalan ya...?”
Aki membisikkan
sesuatu ke Danang dengan lemah. Danang mengangguk.
Benar kata Ayah.
Rumah Aki cukup menyenangkan. Halamannya luas dan bermacam-macam pohon buah ada
di sana. Pantas saja ayah pandai memanjat pohon. Danang berkeliling menelusuri rumah Aki
Sastra.
Ayah mengajak Danang ke sebuah ruang
yang cukup luas. Ayah menyebutnya galeri. Danang terperangah melihat galeri
itu. Banyak sekali wayang golek di sana. Berbagai alat musik serta foto-foto
Aki Sastra pun tersimpan rapi di tempatnya.
“Dulu ayah
senang sekali bermain di sini. Wayang-wayang ini hasil karya Aki Sastra. Aki
memang pandai membuat wayang golek.”
“Ini namanya
Gatot Kaca, yang ini Nakula, yang ini Semar, ini Gareng, dan yang wajahnya
merah ini adalah Cepot. Cepot ini adalah tokoh wayang golek yang paling lucu.”
Ayah menyebutkan
satu per satu wayang golek di depannya. Danang memperhatikan wayang-wayang itu
dengan antusias. Ada sebuah wayang yang paling unik di sana. Wayang itu mirip
wajah anak-anak. Lebih mirip boneka ketimbang wayang golek pada umumnya.
“Itu wayang
kesayangan ayah. Khusus dibuatkan Aki dengan wajah mirip ayah waktu kecil.”
Spontan Danang
tertawa membayangkan wajah ayah waktu kecil. Danang benar-benar takjub pada
barang-barang di galeri itu.
***
Aki Sastra sudah mulai pulih, tetapi
tubuhnya masih lemah. Aki menceritakan bahwa minggu depan Aki mendapat undangan
bermain wayang di sebuah rumah sakit untuk menghibur anak-anak pengidap kanker.
Sayangnya Aki jatuh sakit sehingga Aki terpaksa menolak undangan itu. Padahal
Aki sangat ingin menghibur mereka bersama wayang goleknya.
“Bagaimana kalau
Danang saja yang menggantikan Aki?”
Ayah tiba-tiba
menyodorkan Danang kepada Aki Sastra. Danang kaget.
“Danang
yah?Danang tidak bisa memainkan wayang golek. Bisa-bisa memalukan. Lagian
Danang tidak bisa bahasa Sunda.”
Aki Sastra
tersenyum seolah mendapat jawaban atas masalah yang dihadapinya.
“Rumah sakit itu
memang mau menghibur anak-anak pengidap kanker. Kalau yang jadi dalang
anak-anak pasti sangat menarik. Dari anak-anak untuk anak-anak.”
Aki tertawa
bahagia sambil berkali-kali mengangguk memandangi Danang yang kebingungan.
“Aki bisa
mengajarimu menjadi dalang. Semoga kamu bisa belajar dengan cepat dan menguasai
caranya. Tidak perlu pakai Bahasa Sunda, kamu pakai bahasamu sendiri saja.”
Danang semakin bingung. Ayah ikutan mengangguk dan
tersenyum. Kalau Aki dan ayah sudah
sangat yakin Danang bisa menjadi dalang, Danang tidak bisa mengelak lagi.
Danang akhirnya menyetujui rencana mereka.
Mereka
tidak membuang-buang waktu lagi. Ayah dan Aki segera mengajari dan melatih
Danang. Dalam waktu tiga hari Danang sudah menguasai cerita yang ingin dia tampilkan.
Danang memilih wayang boneka mirip ayah waktu kecil menjadi tokohnya. Ayah
membantunya memainkan alat-alat musik. Danang dan ayah menjadi pasangan yang
kompak.
***
Minggu siang itu Danang merasa
gugup. Danang dan ayah memakai beskap Sunda dan blangkon. Penampilan Danang
sudah seperti Dalang profesional. Ruangan itu penuh dengan orang-orang yang
ingin melihat penampilan cucu Aki Sastra. Kebanyakan dari mereka adalah
anak-anak pengidap kanker. Ada rasa iba di hati Danang saat melihat mereka.
Dari mata dan wajah mereka Danang melihat kesedihan dan kurang semangat.
“Kamu lihat
mereka?Kamu mau membuat mereka senang dan bersemangat? Ayo Nak, ini saatnya
kita melakukan sesuatu pada mereka. “
“Iya Ayah.
Sebenarnya Danang grogi dan gugup tapi Danang ingin melihat mereka senang dan
bersemangat. Semoga Danang bisa melakukannya.”
“Mari Nak, kita
tunjukkan kemampuan kita”
Ayah tertawa
kecil dan menarik tangan Danang ke tempat yang sudah disiapkan.
Bunda siap mengabadikan penampilan
Danang dan ayah dengan kamera dan handycamnya. Aki Sastra duduk di barisan
paling depan. Aki ingin menyaksikan murid yang dilatihnya tampil. Aki senang
ternyata Danang bisa menjadi dalang meskipun dalang yang modern. Itu artinya
Danang masih mencintai budaya Indonesia.
Semua penonton tertegun dan kagum
dengan cerita yang Danang tampilkan. Sesekali mereka tertawa jika ada adegan
atau kata-kata Danang yang lucu. Apalagi jika Cepot sudah ikutan berbicara
dalam cerita itu. Danang benar-benar berhasil memukau dan membuat penonton
terhibur. Aki Sastra bangga pada cucunya itu.
Beberapa anak di tempat itu berebut
mengajak Danang berfoto bersama. Danang layaknya artis yang sedang dikerubuti
penggemarnya. Danang tersenyum manis pada setiap anak yang mengajaknya berfoto.
Danang senang membuat mereka tersenyum dan bersemangat.
“Alhamdulillah
Danang senang melihat senyum mereka.”
***
Pagi itu sekolah heboh. Charles
telah mengunggah gambar-gambarnya di Disneyland ke internet. Semua temannya
sudah melihat dan menyatakan kagum. Danang pun tidak kalah. Danang juga
mengunggah foto-foto liburannya. Foto saat Danang memanjat pohon, latihan dan
tampil menjadi dalang, hingga foto Danang bersama anak-anak pengidap kanker.
Charles menghampiri Danang saat
istirahat.
“Liburan
semester depan boleh aku ikut liburan ke rumah kakekmu?”
“Oh, kamu tertarik?”
“Aku mau juga
memanjat pohon dan bermain wayang golek. Boleh?”
“Pasti boleh.
Kalau kamu berminat liburan nanti kita ramai-ramai saja ke sana. Ajak juga yang
lainnya. Bagaimana menurutmu?”
“Oh itu sangat
menyenangkan.”
Mereka saling
tersenyum dan tertawa. Budaya negeri kita, kalau bukan kita siapa lagi yang
melestarikannya?
selesai
Komentar
Posting Komentar