KUBAYAR KEGAGALAN ITU



 Kami berlima hanya berani mengandalkan sisa-sisa harapan yang kami sendiri tidak yakin. Sebab air mata penyesalan itu  sepertinya sudah kering di sumur hati kami. Ujian her ini mungkin satu-satunya harapan kami untuk mempersembahkan sedikit senyum pada ayah dan ibu kami setelah kemarin-kemarin kepedihan dan keprihatinan yang kami  beri pada ibu dan ayah kami. Orangtua mana yang tidak terpukul tatkala mendapat berita anaknya tidak lulus UN? Ya, itu yang dialami ayah ibuku. Sebenarnya mereka sangat marah dan tepukul, tapi karena melihat kondisiku yang lebih tidak bisa menerima apa yang aku alami, ayah dan ibu masih bisa mengulum kekecewaan mereka dan tidak menyalahkan sepenuhnya diriku. Meski pahit, mereka tetap menghibur dan menyemangatiku. Padahal, pada saat surat kelulusan itu berada tepat di tanganku, rasanya petir dan halilintar menyambar ubun-ubunku. Seolah jiwaku terbang melayang menangis bersama dengan kekecewaan.
Sesak yang mengumpul di rongga dada mengalirkan tangis pedih di mataku. Aku sedih dan marah pada semua. Usahaku sia-sia. Dan yang paling perih adalah mengapa aku bodoh untuk mempercayai janji-janji manis guru lesku?
Aku tidak sendirian menghadapi masalah ini. Di kelasku ada enam belas siswa lain yang tidak lulus. Berarti di ruang ujianku hanya empat orang yang lulus. Hanifah, salah satunya. Sahabat baikku itu tidak terlalu pintar tetapi Hanifah termasuk anak yang tekun dan teguh pendirian.
Berkali-kali Hanifah menasihati dan mengingatkanku agar tidak terlalu dekat dengan Kak Fiyan, guru lesku. Aku tidak pernah menggubrisnya. Aku menganggap Hanifah terlalu naif dan iri akan kebahagiaanku. Aku mengenal Kak fiyan dari tempat lesku. Mahasiswa salah satu universitas ternama itu punya kharisma luar biasa. Setidaknya buatku. Dia tampan, dan yang pasti dia sangat pintar. Awalnya aku hanya menganggap Kak Fiyan sebagai guru lesku tapi entah mengapa lama kelamaan ada perasaan lain yang menderaku. Satu hari saja aku tidak melihatnya, aku begitu merindukannya. Wajahnya terus berputar-putar di benakku.
Karena Kak Fiyan guru lesku, aku punya alasan kuat untuk sering bertemu  dengannya. Jadwal ujian nasional yang semakin dekat adalah jalan suksesku untuk terus bisa dekat dengan Kak Fiyan.  Kalau dihitung-hitung aku lebih sering jalan dengan Kak Fiyan dibanding duduk bersamanya membahas pelajaran. Tidak mengapa, Kak Fiyan kan pintar, masak tidak mau menolongku. Sepertinya Kak Fiyan juga naksir denganku. Buktinya dia tidak pernah menolak bertemu dan jalan denganku. Sampai suatu hari tiba-tiba seorang gadis dengan berangnya menghardikku.
“Jangan ganggu pacar orang, anak ingusan. Fiyan itu pacarku.”
Oh tidak. Aku sakit hati dan begitu terpukul. Orang tampan dan pintar yang kutaksir ternyata memiliki kekasih. Aku tidak bisa menerima kondisi ini tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa.  Kalau harus bersaing dengan gadis itu aku tidak sebanding. Pacar Kak Fiyan adalah mahasiswa satu angkatan dengan Kak Fiyan. Meski perih aku harus bisa menerima ini. Aku berusaha membatasi pertemuanku dengan Kak Fiyan. Kau tahu bagaimana rasanya patah hati? Berat sekali. Ujian yang semakin dekat membayang di pelupuk mata. Sementara sulit sekali untuk bisa berkonsentrasi dalam belajar. Aku harus mengejar banyak. Di antara kepedihan dan  sakit hati aku tetap berusaha belajar dengan Kak Fiyan. Kau bisa bayangkan perasaanku? Perih sekali.
Ujian yang tinggal dua hari lagi membuat aku semakin nervous. Belum lagi perasaanku yang tidak stabil karena Kak Fiyan. Setelah kuamati aku banyak tertinggal. Konsentrasiku sering kabur. Rupanya nervous dan ketakutan lebih kuat menyerangku hingga motivasiku belajar nyaris hilang.
                                                           ***
Kak Fiyan datang menemuiku dan beberapa teman gankku.
“Saya punya orang dalam yang bisa menjamin kalian lulus. Kebetulan yang mengoreksi hasil UN itu teman-teman saya di dinas. Kalian tinggal berikan ke kami nomor ujian kalian. Nanti kami bantu. “
“Jaminannya apa Pak?”
“100% pasti lulus. Ya, kalau Cuma tiga ratus ribu, tidak mahal kan?”
“Pasti, Kak?”
“Dijamin.”
Di antara  kegamangan kami pun memutuskan untuk mempercayai Kak Fiyan. Kami menyerahkan nomor ujian dan uang tiga ratus ribu rupiah per orang. Kami tidak ingin sampai tidak lulus. Jaminan Kak Fiyan yang memiliki koneksi “orang dalam” agak melegakan. Kami mengajak semua teman di ruang kami untuk membayar tiga ratus ribu dan menyerahkan nomor ujian ke Kak Fiyan. Respon mereka luar biasa. Hanya empat orang yang menolak tawaran itu. Kami pun mengajak teman-teman dari kelas lain. Banyak juga yang merespon tawaran ini. Paling tidak kami mengajak teman-teman agar bisa sukses UN kali ini.
                                                       ***
 Kak Fiyan menepati janjinya pada kami. Malam senin menjelang UN, kami mendapat kunci jawaban melalui SMS. Begitu pun malam-malam selanjutnya. Kami sukses mendapat kunci jawaban dari Kak Fiyan. Kami ikuti semua jawaban yang diberi Kak Fiyan. Sebenarnyjawaban itu tidak penting lagi buat kami. Toh kami sudah mendapat jaminan lulus dari Kak Fiyan.
Dan ternyata kami harus menelan pit pahit itu akhirnya. Janji Kak Fiyan ternyata petaka yang melemparkan kami ke jurang kekecewaan. Kami harus menanggung segala kebodohan yang telah kami ciptakan sendiri. Menggali kubur sendiri, kasarnya. Kami tidak lulus padahal sebelumnya kami sangat yakin kelulusan itu milik kami.
Nasi sudah menjadi bubur, dan kami harus menikmatinya meski aku harus muntah-muntah dan tersiksa menelannya. Aku paling tidak suka dengan bubur. Pepatah itu pas sekali dengan kondisiku, harus menerima meski aku ingin teriak dan menolak.
                                                            ***
Pengawas ujian her itu sedikit “angker”, rupanya ujian her kali ini tidak menjamin kami bisa lulus begitu saja. Nasibku dan teman-temanku benar-benar bagai telur di ujung tanduk. Jika ujian her ini aku gagal, aku harus menelan lagi kepahitan lulus dengan status “Paket C”. Aku tidak mau sampai itu terjadi. Kata teman-temanku ijazah paket C ditandatangani pak lurah. Serem, kan?
Kukumpulkan segenap kekutan hatiku untuk melawan setan dalam diriku. Aku bisa saja mengikuti kunci jawaban yag kini beredar di kalangan teman-temanku. Aku harus menghargai diriku. Itu pesan Hanifah padaku. Kalau aku mengandalkan kunci secara langsung aku telah melabelkan diriku sendiri dengan status “bodoh”. Padahal aku toh tidak begitu saja mengikuti ujian her ini. Aku benar-benar belajar. Hitung-hitung aku membayar kekecewaan ayah dan ibu dengan belajar sungguh-sungguh menjelang ujian her ini. Tidak ada orang yang mau jatuh dua kali pada lubang yang sama , kan?
Kulihat teman-temanku sibuk berkasak-kusuk menanti kelengahan pengawas. Kunci jawaban itu pelan-pelan dipegang Dini. Sesekali Dini mengintip kunci itu. Aku iri dengan Dini. Mengapa kunci itu tidak ada padaku? Astagfirullah al azhiim. Lagi-lagi aku teringat pesan Hanifah.
“Jangan kau ulang dosamu yang dulu. Kau pintar. Bahkan lebih pintar daripadaku. Jangan kau hancurkan usaha kita dengan hal yang tidak berguna itu, ya.”
Kulanjutkan membaca soal-soal di depanku. Aku kerjakan soal-soal yang aku b isa. Ternyata tidak terlalu sulit. Sebagian besar sudah aku pelajari bersama Hanifah. Alhamdulillah, ya Rob. Kau anugerahi aku sahabat yang sangat baik. Di saat aku jatuh terpuruk, di saat tak ada lagi yang peduli akan nasibku, di saat orang-orang hanya berkata “kasihan kamu, Nia”, Hanifah mau menggamit lenganku mengangkatku dari keterpurukan.
            Alhamdulillah. Akhirnya aku mampu menyelesaikan semua soal-soal itu. Bagaimana hasilnya? Ah, aku sudah tidak peduli lagi apa hasilnya. Semua kuserahkan padaMu ya  Robb. Aku sudah berusaha dan aku memohon padaMu. Untuk hasilnya? Aku hanya manusia. Kau yang punya kuasa.
            Ada hal luar biasa lain yang aku dapat dari ketidaklulusan ini. Aku jadi sadar bahwa aku begitu jauh dari Tuhanku, penciptaku, penggenggam hidupku. Maafkan aku Tuhan, aku ingin kembali pada jalanMu.
                                                                    ***
            Hanifah menantiku di gerbang sekolah. Jilbab panjangnya dikibas-kibaskan angin. Aku menghampirinya.
“Fah, kumohon jangan kau tolak pemberianku ini.”
“Apa ini?”
“Aku sudah bernazar pada diriku. Jika aku sudah menyelesaikan ujian her ini, aku akan memberimu hadiah. Kumohon jangan kau tolak nazarku ini.”
“Loh, hasilnya kan belum tahu?”
“Itu tidak penting. Sebab yang kulalui beberapa hari kemarin terlalu indah untuk ditukar dengan harapan yang berlebihan. Terima kasih ya.”
“Baiklah, aku tidak mau kau kecewa. Aku terima hadiahmu. Sekarang tolong aku cari formulir PTN, ya”
“Baiklah.”
            Aku menemani Hanifah mencari formulir PTN. Aku yakin Hanifah bisa masuk PTN. Aku berdoa kau masuk PTN, Fah. Amiieeenn....

                                         


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perang Majas ( Metode Permainan dalam Pembelajaran)

Asal –Usul Nama Kue Cucur (Cerita Rakyat Betawi ),

KONJUNGSI TEMPORAL