KAUL AYAH DI AWAL RAMADHAN
Alhamdulillah. Akhirnya
aku bisa bernapas lebih lega. Semua kewajiban kampus yang harus rampung
menjelang liburan Ramadhan sudah kutuntaskan. Setidaknya aku bisa tenang
menjalani shoum Ramadhanku saat liburan nanti di rumah, di kampung halamanku
tercinta. Kurapikan beberapa barang yang kan kubawa liburan nanti. Satu tas
tidak terlalu besar cukuplah. Aku tak mungkin membawa semua barangku, toh
liburan Ramadhan hanya dua minggu. Dua minggu itu akan benar-benar kumanfaatkan
dengan kegiatan liburan. Itu artinya aku akan istirahat dari paper-paper dan
diktat-diktat tebal yang kini tersusun rapi di sudut meja belajarku. Meski
hanya untuk sementara, buatku cukuplah membuat rileks otot-otot yang menyerabut
di otakku.
Sembari menyesap secangkir
teh manis hangat ditemani emping manis kiriman emakku dua minggu lalu, kubaca
lagi surat kiriman ayah. Surat yang ayah kirim bersama emping manis buatan
pabrik milik keluargaku. Padahal ayahku bisa saja mengirimkan SMS kepadaku. Ya,
begitulah ayahku. Mungkin surat yang diselipkannya di antara kiriman emping manis itu adalah caranya memaksaku
dengan halus untuk pulang secepatnya. Aku sangat tahu ayahku.
Assalamualaikum
Sofi, anakku tersayang.
Apa
kabarmu , Nak? Semoga kamu baik-baik saja seperti ayah dan ibu di sini. Kami
sangat berharap kepulanganmu di kampung pada puasa nanti. Alhamdulillah panen
kebun melinjo dan keuntungan pabrik kita tahun ini cukup besar. Ayah punya kaul
untuk membagikan sebagian keuntungan yang kita dapatkan kepada orang-orang yang
memerlukan pada awal puasa nanti. Kami sangat membutuhkan bantuanmu untuk
mengurus kaul ayah ini. Pulanglah beberapa hari sebelum puasa itu tiba.
...
Untuk kedua kalinya aku
tercenung memegangi surat dari ayahku itu. Ada getar lembut menghentakkan rasa
syukurku. Subhanallah, alhamdulillah, betapa bahagianya aku dengan niat ayahku
ini. Perubahan yang dahsyat dari perilaku ayahku. Dulu orang-orang sekampungku
menganggap ayahku sebagai orang yang agak kikir. Juragan yang tidak peduli
dengan orang lain. Jangankan orang lain, pekerjanya saja sering mengeluhkan
kalau ayahku kurang memperhatikan kesejahteraan pekerjanya. Padahal,
pekerja-pekerja ayahku sudah mengabdi tahunan di pabrik ayah. Ayah dulu
berprinsip banyak orang yang butuh pekerjaan jadi tidak susah mencari orang
untuk bekerja.
Setiap
aku ingatkan untuk membantu pekerjanya yang memerlukan bantuan dalam waktu
dekat ayah hanya mengatakan bahwa keuntungan pabrik belumlah terlalu besar,
sehingga jika dihabiskan tanpa cermat malah akan membuat pabriknya gulung
tikar. Apakah separah itu dampak jika ayahku membantu orang-orang
sekelilingnya? Aku hanya menggelengkan kepalaku. Bagaimana pun aku hanyalah
anak beliau, aku tak mampu berbuat terlalu jauh.
Isi
surat ayahku ini benar-benar jauh dari pandanganku tentang ayahku selama ini.
Ya Robb, jika ini adalah hidayahMu yang kau beri untuk ayahku, aku sangat
bersyukur, aku sangat bahagia. Luapan rasa yang terbendung di dadaku membanjir
perlahan di lekuk-lekuk pipiku. Kuhapus perlahan air mata itu. Ayah, aku benar-benar
bahagia, tak sabar rasanya ingin kupeluk ayahku. Menjadi bagian yang mengurus
kaul ayahku, adalah yang aku ingin cepat-cepat lakukan, tapi apa daya? Urusan
kampusku baru bisa kelar hari ini. Dua hari menjelang Ramadhan aku baru bisa
pulang ke rumah.
***
Sampai
detik ini aku masih dengan bangga mengatakan kampung halamanku, kampung
tercinta. Meski aku harus mengipas-ngipasi tubuhku yang kegerahan beberapa jam
menuju kampung halamanku itu. Berada di atas bus antarkota yang tidak ber AC
ternyata cukup membuatku tersiksa dengan pengap dan sapuan terik mentari. Tahu
akan begini jadinya mengapa aku tidak memilih bus AC saja tadi? Atau mengapa aku tidak meminta saja ayah
menjemputku di kost-an?Ah, awalnya aku hanya tidak ingin merepotkan ayah untuk
kepulanganku ini. Aku ingin mandiri.
Pagar
rumahku menyambutku dengan ramahnya. Membuka lebar untuk kepulanganku. Kudapati
ibu di ruang tamu yang langsung memelukku dengan hangatnya, seperti biasa. Aku
bisa memahami kerinduan ibuku itu. Aku pun sangat rindu beliau.
“Mana ayah, Bu?Nini?”
“Ayah di samping. Nini tidur. Ayah sedang sibuk mempersiapkan acara besok.”
“Acara besok?”
“Loh, ayah sudah beri tahu kamu, kan?Besok ayah mau
kaulan.”
“Kaul? Bukannya ayah mau sedekah?”
“Ya itu. Buat acara sedekah ayah itu. Tadinya kamu
yang disuruh ayah urus semua, tapi kamunya enggak pulang-pulang ya ayahmu suruh
Dikin, mandor di pabrik yang urus.”
“Loh emangnya ngurus apa Bu? Bukannya sedekah atau
amal ayah bisa langsung diberi ke orang-orang yang membutuhkan? Apa yang harus
diurus?”
Ibu hanya memandangiku. Ibu menarik lenganku dan membawaku ke samping
rumah. Di sana ada banyak pekerja-pekerja ayah yang sedang menimbang beras,
menghitung sembako, dan banyak kegiatan lain seperti orang mau hajatan besar.
Kulihat ayah sedang berbicara dengan Mang Dikin, mandor di pabrik ayah.
“Pak, Pak, Sofi, Pak.”
Ayah menghentikan pembicaraannya dengan Mang Dikin.
Kuraih tangan ayahku dan menciumnya.
“Baru datang Fi? Gimana macet?jam berapa dari sana?”
“Ya, macet yah. Ayah tahulah. Sofi pergi bada
subuh.”
“Kami sedang repot buat acara besok. Kamu baru
pulang, ya ayah tidak bisa minta bantuanmu. Untung ada Mang Dikin yang bantu
ayah persiapkan ini semua. “
Ada perasaan
bersalah menjalar di dadaku.
“Maafin Sofi, ayah. Tugas Kampus baru selesai
kemarin, Sofi enggak mau liburan puasa di sini terganggu dengan tugas-tugas
jadi Sofi harus menyelesaikan secepatnya.”
“Ya, enggak apa-apa. Ayah mengerti. Istirahatlah. “
Ayah meninggalkanku dan melanjutkan kesibukannya.
Aku jadi merasa bersalah dan tidak enak hati. Sikap ayah tak seperti biasanya
kepadaku. Dingin. Mungkin ayah kecewa karena aku tidak pulang segera setelah
suratnya kepadaku. Aku hanya bisa mengamati hiruk pikuk samping rumahku dengan
segala aktivitas itu. Seperti layaknya hajatan besar orang-orang hilir mudik
sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.
***
Puasa
hari pertama yang indah. Semoga puasa di hari ini membawa keberkahan hidup
untuk aku dan keluargaku. Semalam aku tidak tarawih di masjid kampung. Ayah
memilih tarawih bersama seluruh orang rumah di rumah. Aku merasakan betapa
indahnya kebersamaan dengan keluargaku. Keluargaku keluarga besar. Maksudku aku
tidak hanya tinggal dengan ayah, ibu dan kedua adikku saja. Di rumah ini ada
nenek, dua orang pamanku, satu orang bibiku, dan dua orang lagi yang membantu
keluarga kami dalam mengurus rumah. Kami
tarawih berjamah sekeluarga. Sahur pun terasa begitu semarak karena kami
bersahur bersama di hari pertama puasa kali ini.
Ayah
tidak mengizinkan aku menarik kembali selimutku selesai sholat subuh. Ayah
meminta aku untuk membantunya dalam acara kaulan ayah.
“Ayah sudah menyebarkan dua ribu kupon ke warga
sejak seminggu lalu. Mereka akan ke sini nanti sekitar jam sepuluh.”
Dua ribu kupon?
Banyak sekali, pikirku. Yang aku tahu pekerja di pabrik ayah tidak
sampai delapan puluh orang. Berarti ayah tidak hanya menyumbang pada pekerja pabrik
tetapi juga pada warga sekitar sini. Rupanya keuntungan pabrik emping ayah
tahun ini benar-benar besar.
“Tolong kamu bantu bagikan sembako yang sudah
dibungkus dan amplop-amplop ini. Nanti jam sepuluhan akan datang wartawan juga
loh.”
Wartawan? Aku semakin bingung dengan kegiatan yang
akan dilakukan ayahku. Aku hanya diam mengikuti ayah ke depan rumah.
Kantung-kantung
sembako disusun rapi oleh pekerja-pekerja ayah yang membantu ayah untuk acara
ini. Pagar rumah belum dibuka tetapi aku sudah melihat beberapa orang
berkerumun. Perlahan tapi pasti orang-orang berdatangan ke rumahku. Jam di
tanganku baru menunjuk pukul delapan tetapi kerumunan orang-orang di luar pagar
menyemut membuat aku merinding. Aku agak pusing dengan keramaian.
“Mang, kenapa tidak dibagikan langsung saja? Mereka
sudah banyak yang datang.”
“Jangan Neng, nanti kacau. Bapak suruh nanti jam
sepuluh. “
“Tapi itu sudah ramai sekali Mang, nanti malah
mereka ribut di luar.”
“Mamang enggak berani Neng, Bapak perintahnya
begitu.”
Aku tidak bisa berbuat banyak. Kulihat orang-orang
di luar pagar sudah mulai gelisah dan gusar. Beberapa dari mereka memegangi
pagar dan mulai mengorak-ngorak pagar.
“Mang cepet
atuh. Hareudang pisan di die.”
“Sabar, nanti jam sepuluh di buka.”
“Hareudang
kang, hareudang.”
Suara-suara itu semakin
lama menjadi kekisruhan. Kucoba membujuk ayah untuk membuka pagar. Ternyata
ayah masih menunggu kehadiran wartawan yang katanya akan meliput acara ayah
ini. Kutinggalkan ayah dengan kekesalan luar biasa. Aku memilih masuk ke kamarku
untuk menenangkan diri. Dari jendela betapa terkejutnya aku melihat apa yang
terjadi di luar pagar. Orang-orang itu berusaha merobohkan pagar rumahku dan
menerobos masuk halaman tempat kantung-kantung sembako itu disusun.
Pekerja-pekerja ayah kewalahan menangani mereka. Jumlah mereka sangat banyak.
Aku tak berani pergi ke halaman. Aku takut dengan keramaian seperti itu.
Kulihat
banyak ibu dan orang tua renta yang masuk dalam antrean itu. Mereka berdesakan,
saling mendorong. Ada beberapa orang yang terinjak. Aku benar-benar ketakutan
melihat kekisruhan itu. Dari jendela kamarku kulihat mereka saling berebut.
Seperti rencana ayahku, pukul sepuluh sebuah mobil stasiun televisi daerah
datang ke rumah. Wartawan dari stasiun ini meliput segala yang terjadi di
rumah. Kekisruhan itu menjadi berita teraktual dan mahal buat mereka.
Wajah
ayah tegang tatkala kamera itu menyorot wajahnya. Ayahku benar-benar malu.
Alih-alih menjadikan acara ini sebagai ajang promosi pabrik empingnya justru
ayah dibuat malu dengan kejadian ini. Aku masih di kamarku mengamati yang
terjadi di halaman rumah. Aku takut dan
malu dengan peristiwa ini. Ibu masuk ke dalam dan menemuiku di kamar. Ibu
menumpahkan semua air matanya di pelukanku. Begitu juga kedua adikku yang
ketakutan. Aku berusaha menemui nenekku. Aku tahu neneklah yang harus ditolong
dalam keadaan seperti ini. Kutemui nenekku dan berusaha menenangkan dengan
mengelus-ngelus dadanya. Ya Allah ampuni kami, ampuni ayahku. Aku tak menyangka
niat ayah akan berakhir seperti ini. Padahal aku sudah mencoba mengingatkan
ayah untuk memikirkan baik-baik caranya bersedekah.
***
Rumah
kami sudah sepi dari orang-orang yang berkerumun tadi. Beberapa orang yang luka
sudah dibawa ke puskesmas kecamatan. Mereka menjadi tanggungan kami. Aku
meminta pamanku yag mengurus mereka. Halaman rumah masih porak poranda sisa
peristiwa tadi. Ibu masih belum bisa menghentikan isak tangisnya. Nenek
terpaksa kuungsikan ke rumah uwakku yang tidak terlalu jauh dari rumah. Aku
khawatir dengan kesehatannya. Ayahku kini di bawa ke kantor polres bersama Mang
Dikin. Dua orang meregang nyawa dalam peristiwa tadi. Keluarganya menuntut
ayahku.
Bohong
kalau aku kuat menghadapi ini. Aku berusaha menahan air mata pilu itu keluar
dari mataku. Aku tak ingin ibu semakin tersiksa. Aku harus menenangkan
orang-orang yang aku cintai. Aku juga harus menolong ayahku. Tapi bagaimana
caranya? Ayah harus bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Ternyata niat
baik saja tidak cukup dalam bersedekah, tetapi kita juga harus memikirkan
segala sesuatunya dengan cermat. Satu hal yang sepertinya luput dari kita semua
yaitu keikhlasan. Allah tahu mana yang ikhlas mana yang tidak . Bibir kita
mungkin bisa bicara, tetapi Allah punya caraNya sendiri untuk menilai
keikhlasan kita.
Hari
pertama Ramadhan yang seharusnya penuh rahmat menjadi bencana buat keluargaku.
Ya allah ampuni kami. Ampuni segala niat kami yang tidak kami sadari malah
membuat petaka. Lindungi hati kami dari segala niat yang tidak baik. Ajari kami
keikhlasan dengan indah. Pelajaran berharga ini kan kupegang dalam hatiku.
Ketika tangan kananmu memberi usahakan tangan kirimu jangan sampai tahu adalah
pemahaman berharga soal keikhlasan. Sebab ikhlas itu Kau yang menilai, Kau yang
membalas.
***
Just
giving one but you telling everyone you meet
Just
giving one you always talking about it
Just
giving one act as your habit
Just
giving one everybody has known what you did.
When
give with your right hand dont let event your left hand knows that good thing
that you did
Komentar
Posting Komentar