SUCI TAKUT NILAI SERATUS
Atmosfer ketegangan ujian menyelimuti atap SMA Mahardika. Bisa jadi
tidak hanya di Mahardika, tetapi di ribuan SMA di Indonesia. Tulisan
warna-warni yang seharusnya indah menghias papan pengumuman terlihat begitu
angker bagi Suci. Bisa jadi bagi kawan-kawannya yang mau tidak mau mengikuti
ujian nasional.
Ujian Tinggal 4 hari lagi. Persiapkan!
Suka tidak
suka Suci harus melihatnya. Hitungan mundur hari-hari ujian nasional.
Selama dua bulan di tempat itu, si pengumuman membusung dengan bangganya. Makin
dilihat makin mulas perut anak-anak dibuatnya.
Suci kembali melihat laporan hasil try outnya. Sedikit menahan napas membuat wajah manisnya tidak
lagi kelihatan indah. Hasil try outnya jauh dari sempurna, jika begini terus
bisa-bisa dirinya tidak lulus, batin Suci. Seandainya saja kemarin DBD tidak
hinggap ditubuhnya selama dua minggu.
Seandainya saja dua minggu itu Suci
berada di kelas bersama teman-temannya membahas soal. Bukannya di rumah sakit
terbaring lemah dengan puluhan botol infus. Ditambah lagi cek darah yang
berkali-kali. Nyaris dua minggu itu hanya infus, pispot, dan jarum suntik
temannya.Untungnya masih ada mbak-mbak perawat yang menemaninya. Kalau
mengharapkan bunda standby terus disampingnya, tidak mungkinlah. Bunda kan harus bisa membagi waktu antara
dirinya dan murid-muridnya di sekolah.
Ah... makin suci mengutuki dirinya makin
sesaklah dadanya. Kesal, marah, membayangi dirinya gagal dalam UN ini. Suci
memejamkan matanya. Dalam bayangnya muncul sesosok laki-laki yang sangat
disayangnya.Laki-laki yang selalu berada di sisinya kala Suci harus menumpahkan
segala emosinya.. Ayah, laki-laki yang sudah beberapa waktu lalu pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya.
Tiba-tiba Suci meneguhkan dirinya. Menguatkan hatinya. Perlahan Suci memotivasi
dirinya sendiri.
“Aku sudah melewati hidup tanpa ayah. Aku bisa. Aku harus bisa . Aku harus bisa. UN cuma
pintu yang harus aku lewati. Masih ada waktu, meski hanya dua hari.”
Batin Suci membisik, Suci menyunggingkan senyum. Senyum bahagia untuk
dirinya. Senyum yang akan mengantarnya pada kemenangan . Suci harus menang.
Menang melawan kegalauan di hatinya. Menang melawan ketakutannya. Menang untuk
bisa menenangkan hatinya. Menang UN. Menang UN. Arrrggghhh....
***
Sound system menggema
mengisi relung kalbu siswa-siswi Mahardika. Trainer dari Element itu sukses membawa
siswa-siswi ke alam kesyahduan. Isak tangis terdengar dari beberapa siswa yang
masuk dalam perenungan suci. Siapa yang tak tersentuh jika ibu yang dibahas.
Siapa kita tanpa ibu? Siapa kita tanpa kasih sayangnya yang tercurah dengan
begitu terlimpah? Siapa kita tanpa doa-doa nya yang terpanjat seumur hidupnya?
Siapa kita tanpa restu dan pemeliharannya yang tanpa pamrih? Apa mungkin hidup
kita lancar tanpa doa-doanya yang senantiasa mengiringi?Ya, ibu, ibu lah
segalanya.
Bagi Suci, Bunda pun
begitu berharga. Apalagi sepeninggal ayah. Tak pernah Suci melanggar permintaan
bunda, meski kadang sebagai remaja banyak hal yang kurang sesuai antara dirinya
dan Bunda tapi Suci memilih menurut apa kata Bunda. Bagi Suci, bunda begitu
hebat, sebagai single fighter, bunda mampu survive. Bukan perkara mudah.
Seandainya Suci yang menjadi bunda, belum tentu dia bisa melakukannya.
Alhamdulillah Rob, kau
anugerahi Suci bunda yang mengagumkan. Menitik air mata menyusuri lekuk-lekuk pipinya.
Trainer Element memang
sengaja diundang kepsek Mahardika sebagai bagian dari rangkaian persiapan
menjelang UN selain tambahan pelajaran di luar jam sekolah. Tujuannya jelas
memberikan pencerahan rohani menjelang UN. Pencerahan model begini adalah
sesuatu yang sedang trend. Bahkan ada yang menggunakan hypnoterapy teaching
segala. Mereka berasumsi dengan pencerahan model begini siswa-siswi merasa
lebih siap mental dan materi menjelang ujian.
***
Derap jam santer mengisi sunyinya malam. Mata
Suci masih belum terpejam. Meski berkali-kali coba dipejamkan kedua retinanya,
Suci belum berhasil mengantar utuh dirinya dalam lelap. Mata boleh terpejam,
tetapi yang ada di benak mengaduk-ngaduk menyerang sampai kalbu. Ketakutan,
kegelisahan menghinggapi Suci di malam ini. Jarum jam terus menggelosor hingga
pukul dua dini hari. Suci masih belum bisa membuat pikirannya istirahat. Suci
khawatir UN pagi nanti. Suci khawatir, karena pagi ini matematika siap
mengeksekusi.
Untuk tiga pelajaran
yang sudah dilewati, Suci terkesan biasa saja. Memang sih Suci tidak mungkin
mendapat nilai seratus untuk ketiga pelajaran itu, tapi Suci yakin kalau hanya
lolos dirinya pasti lolos. Tetapi tidak untuk esok, tidak untuk matematik. Suci
sadar betul, DBD yang menemaninya selama dua minggu benar-benar membuntukan
jalannya untuk banyak berlatih. Buat Suci, kunci taklukan matematika hanyalah
berlatih. Sedang kemarin? Oh kenapa Suci harus kena DBD sih? Benar-benar buang
waktu.
Berkali-kali Suci memejamkan mata dan mencoba
mengistirahatkan pikirannya. Hingga pukul empat dini hari tubuhnya memaksa
diistirahatkan. Tepat pada pukul
empat, mata, tubuh, dan pikiran Suci
baru benar-benar sukses terlelap karena kelelahan yang memuncak.
Berkali-kali bunda mengetuk pintu kamar Suci. Yang
di dalam tak menjawab . Bunda agak berteriak.
”Ci, subuh sayang, Subuhnya sudah habis loh.”
”Tumben nih anak. Biasanya sudah mandi gini hari. Apa dia belajar sampai malam ya?”
Suci masih di alam mimpi. Bunda bolak-balik mengetuk pintu kamarnya. Suci
kaget dan terbangundari lelapnya.
”Hah, jam berapa ini?Wah aku kesiangan. “pekik Suci pada dirinya. Suci
begegas mesti kelopak matanya belum lebar benar.
”Kok bunda enggak bangunin Ci, sih? Ci kesiangan nih. Mana belum sholat
subuh lagi.”
”Dari subuh loh bunda sudah ketuk-ketuk . Kamu begadang sayang?”
Suci langsung ke kamar mandi tidak menghiraukan bunda.
”Ya Allah, ampuni aku. Terpaksa aku sholat subuh jam 6 begini. Aku
kesiangan Allah.” batin Suci mengucap.
Suci bergegas ke luar dengan
terburu-buru. Matanya masih belum bisa diajak kompromi. Berkali-kali tangan
Suci menutup mulutnya yang refleks kala meguap. Suci masih sangat mengantuk
pagi ini. Ya Allah, percepat laju angkot ini. Jangan biarkan aku takut
terlambat ke sekolah.
Di
depan gerbang sekolah tidak terlalu banyak anak yang terlihat. Kebanyakan sudah
berada di dalam. Suci beruntung masih bertemu dengan Tito.
”Ci, sini deh. Matamu masih sipit gitu. Masih ngantuk ya?
”Iya nih To. Aku takut gak bisa mengerjakan matematika hari ini.”
”Oh, kamu gak usah ember ya, nih” sedikit berbisik Tito menyodorkan kertas
kecil ke Suci.
”Apa nih?”
”Udah pakai saja. Yang ini dijamin 100% paten.”
Suci masih terbengong dengan pemberian Tito .
”Ma..Makasih ya To.”
Tito berlalu darinya. Kini kunci jawaban yang entah benar entah palsu ada
di tangannya. Suci ragu tapi Suci masih memegang kertas kecil itu.
***
Pengawasan hari ini
lumayan ketat. Bapak pengawas berseragam biru tua itu sepertinya tidak kompromi
dengan keadaan. Kepala Suci sedikit pening. Mungkin itu efek semalam karena dia
kurang tidur. Beberapa soal dikerjakannya. Ada beberapa soal yang dilewatinya. Ruang
ujian begitu hening. Hanya ada suara kertas yang dibolak-balik.
Bapak pengawas berseragam
biru tua itu menuju lorong tempat Suci berada. Dag...dig...dug... berdegup
jantung Suci dibuatnya. Nyaris Suci terpana dan tak bisa menggerakkan pensil 2B
di tangannya, tat kala si bapak sampai dekat mejanya. Si bapak melewatinya.
Hups...Selamat. Alhamdulillah.
Suci berusaha
mengembalikan kesadarannya. Suci mengerjakan lagi soal di depannya. 09.45.
Tinggal lima belas menit lagi. Lembar jawaban di depannya masih banyak yang
kosong. Suci mengutuki dirinya yang berulang kali menghitung namun tidak
menemukan jawaban soal-soal itu. Masih ada sepuluh nomor lagi. Ingin rasanya
Suci menyerah.
Pengawas di depan
mengendurkan pengawasannya. Biar pun tidak lagi ketat Suci merasa sudah buntu
tak tahu lagi harus menjawab apa pada soal-soal hitungan di depannya. Perlahan Suci mengeluarkan kertas kecil
pemberian Tito tadi pagi. Diselipkannya kertas kecil itu pada soal-soal di
depannya. Wajah Suci tegang, jantungnya berdegup, tangannnya sedikit gemetar. Berkali-kali
Suci mengawasi pengawas yang jauh dari tempatnya. Kalau-kalau apa yang
diperbuatnya ketahuan oleh mereka.
Suci menyalin kunci
jawaban itu pada soal-soal yang tidak mampu dijawabnya. Gerak Suci harus cepat,
karena jika pengawas itu tahu, masalah akan jadi runyam. Tidak hanya buat dirinya.
Tapi juga buat sekolahnya dan buat bunda yang dicintainya. Suci tak ingin bunda
nya sampai malu mempunyai anak yang kepergok nyontek saat ujian. Suci berhasil. Ya, berhasil menjawab
semua soal sampai bel berbunyi. Suci berhasil mengelabui pengawas dan ironisnya
Suci berhasil membohongi dirinya sendiri.
***
Bunda masih tidak
mengerti mengapa anak kesayangannya tiba-tiba meminta waktu khusus untuk
bebicara padanya. Biasanya Suci langsung saja mengeluaran isi hati pada
bundanya. Sejak tidak ada ayah, bunda dan Suci seperti kakak beradik, mereka
bisa sagat enjoy saling cerita dan berbagi.
“Nda, bunda jagan marah ya, kalau Suci berkata jujur.”
Bunda hanya tersenyum. Tumben, biasanya Suci tidak pernah takut bicara apa
pun padanya.
”Bun, Suci takut nih. Takut sekali.”
”Ada apa sih sayang? ”
”Suci takut nilai matematik Suci seratus bun.”
”Loh kok takut? Bukannya itu luar biasa?’
Suci menggeleng.”Suci takut bun,kalau sampai nilai Ci seratus nanti
orang-orang akan menyoroti Suci, dianggapnya Suci pintar matematika lagi.”
”Loh, kalau memang itu hak mu, bunda bangga loh.”
”Tapi,...”ada sorot keraguan di mata Suci.
”Tapi itu kalau betulan pandai, Bun. Kalau Suci takut karena Suci nyontek
Bun.”
”Nyontek?” mata bunda melotot. Suci menunduk malu. Suci tahu bunda pasti
marah. Bunda paling tidak suka pada anak yang suka menyontek. Bunda tidak
pernah memarahi jika nilai ulangan Suci tidak bagus. Bunda justru akan marah
jika Suci menyontek.
”Iya Bun, Suci nyontek di kunci jawaban Tito. Tito yang kasih, katanya dia
beli lima ribu di gerbang sekolah. ”
Suci masih menunduk. Takut melihat wajah marah bunda. Bunda masih diam.Raut
wajahnya tidak lagi ramah.
”Maafin Suci, Bun, maafin. Suci benar-benar buntu waktu itu. Suci terpaksa. Sekarang Suci takut kalau
nilai Suci seratus. Soalnya, setelah Suci bahas dengan bu Luthfi, jawaban Suci
benar semua. ”Suara Suci gemetar. Suci menangis. Ada ketakutan yang sangat di
hatinya.
Bunda menarik napas.
”Kenapa takut sekarang? Kenapa takut kalau nilai seratus?kenapa saat nyontek kamu malah
berani, Suci?” akhirnya bunda bersuara.
”Suci takut enggak lulus, Bun. Takut malu. Kasihan Bunda pasti kecewa.”
”Ya, semua sudah terjadi. Nasi sudah jai bubur. Nikmatilah buburmu itu.
Kalau saja kamu merasa nyontek itu curang, nyontek itu diawasi Allah, pasti
kamu memilih menjawab semampumu.”Bunda memaksakan senyum di bibirnya.
”Bunda enggak marah?”
”Mau marah gimana lagi? Kamu tahu itu baik atau tidak, kamu bukan anak
kecil lagi, kan? Ya, sekarang kamu harus terima hasil perbuatanmu.”
Suci benar-benar nelangsa.
Seandainya saja dia tidak menyalin jawaban sepuluh soal yang benar-benar tak
bisa dikerjakannya dari kunci yang diberi Tito. Seandainya saja Suci
mempertahankan kepercayaan dirinya seperti biasanya. Seandainya saja Suci
merasa cukup dengan apa yang bisa dilakukannya saja.
Suci menelan ludah pahit tat kala kepala sekolah
memberinya ucapan selamat
”Selamat ya Suci, kamu mengharumkan nama sekolah. Nilai matematikamu
seratus. Kamu orang pertama di sekolah ini yang mampu memberi nilai seratus
pada UN matematika.”
Ucapan-ucapan selamat membanjiri Suci bagaikan sembilu yang mengiris-ngiris
hatinya. Bagaimana Suci mempertanggungjawabkan nilai seratus ini?
Komentar
Posting Komentar