BUKAN KUTUKAN CINTA DOLDAM STREET



“Kau siap?” tanya lelaki di sampingnya sekali lagi. Seakan memberi kesempatan pada Naya untuk merubah keputusannya. Tapi gadis itu menggeleng pelan meski kakinya tidak juga bergerak melangkah. Mereka berdiri di ujung Doldam Street. Wajah Naya terlihat ragu. Ia tahu, ia tak boleh percaya takhayul. Tapi perkataan teman-temannya membuat Naya diserang keingintahuan yang begitu besar. “Apa benar kisah cintaku dengan Jonghyun Oppa akan berakhir jika kami melewati jalan ini?” gumannya dalam hati. Karena rasa penasaran yang terus menyerang, akhirnya ia mengajak kekasihnya itu menyusuri jalan yang dianggap terkena kutukan. Agar ia tahu, apakah cinta mereka seabadi yang ada di dalam pikirannya.
Naya menahan napas seraya memejamkan kedua kelopak matanya, mengumpulkan segenap kekuatan untuk melanjutkan rencananya bersama Jonghyun. Digenggamnya kuat jari-jemari tangan kiri Jonghyun.
“Ayo.”
Perlahan diayunkannya langkah menyusuri Doldam Street. Angin bertiup perlahan memainkan ranting-ranting dan dedaunan sakura. Menciptakan senandung gesekan yang khas. Perlahan tapi pasti Doldam Street dilintasinya juga bersama Jonghyun. Naya memalingkan wajahnya ke arah Jonghyun. Naya memalingkan wajahnya ke arah Jonghyun. Mata mereka bertatapan. Segala perasaan kini berkecamuk di dada-dada mereka.
“Tenang Naya. Kutukan itu tidak akan mempan terhadapmu. Percayalah , Kau orang Indonesia. Bukan Korea. Kutukan Doldam street hanya berlaku untuk Korea.”
“Oppa...”
Naya tidak kuasa menahan perasaan kagumnya pada Jonghyun, kekasihnya. Di saat genting seperti ini pun, di saat Naya sendiri tidak yakin dengan dirinya, Jonghyun masih berusaha meyakinkan bahwa Jonghyun benar-benar menyayangi Naya. Perkataan Jonghyun membuat Naya semakin yakin dengan keabadian cinta mereka.
“Oppa,Gamsahamnida, .”
                                                                             ***
Tujuh tahun kemudian...
            Naya menyandarkan punggungnya pada bangku taman. Udara Bogor selalu menyejukkan dan membawa kedamaian baginya. Naya berhasil melarikan diri dari segala rutinitas dan tuntutan pekerjaan yang mengejar-ngejarnya. Biarlah beberapa jam saja Naya pergi dari segala rutinitasnya. Meski hanya beberapa jam saja itu patut disyukuri.  Naya tersenyum geli mengingat peristiwa tiga puluh menit lalu. Rida dengan wajah memelasnya menyodorkan setumpuk pekerjaan yang harus Naya selesaikan.
“Oke, Rida. Sebentar saja. Nanti aku kembali.”
Naya langsung melarikan Mio miliknya. Sementara Rida hanya bisa melongo pasrah membiarkan Naya berlalu darinya.
            Dan kini Naya berada pada udara kebebasan meski mungkin hanya sebentar. Menikmati  kebun raya yang luas dan memanjakan mata siapa pun yang memandang. Sesekali Naya melihat beberapa pasang kekasih yang terlihat mesra melewati bangku taman yang didudukinya. Naya hanya mengulum senyum melihat kondisi itu. Naya jadi ingat masa lalunya. Masa remaja yang penuh keceriaan. Memori Naya kembali pada satu sosok yang sangat dicintanya. Satu sosok di masa remaja yang rasanya sayang untuk dihilangkan.  Jonghyun Oppa. Ya, Oppa kekasihnya yang kini berada di Korea. Kekasih masa remaja yang dia tinggalkan begitu saja. Naya tak kuasa menahan segala yang berkecamuk di dadanya tatkala Jonghyun yang terlintas di benaknya. 
          Mata Naya memandang jauh ke depan menerobos barisan pepohonan besar Kebun Raya Bogor. Di depan sana sebuah jembatan merah mengayun-ngayun mengikuti irama yang dimainkan angin untuknya. Sesekali jembatan itu dilintasi oleh orang-orang yang harus berpegangan pada tepian jembatan yang terbuat dari kayu bercat merah itu. Naya merapatkan bibirnya menahan bening air mata yang siap menerobos kelopak matanya. Melihat jembatan merah itu Naya ingat Doldam street, di soul, Korea. Jembatan merah Di Kebun Raya Bogor pun memiliki mitos yang sama dengan Doldam Street. Sepasang kekasih yang melintasi jembatan merah dimungkinkan akan segera putus. Ya, seperti kutukan Doldam Street.   Naya ingat bagaimana kenekatannya untuk membuktikan bahwa cintanya bersama Jonghyun adalah cinta yang abadi. Naya nekat mengajak Jonghyun untuk bersama melintasi Doldam street tujuh tahun yang lalu. Naya pun akhirnya harus menelan ludah pahit jika ternyata kutukan Doldam street pun harus dialaminya.
            Jonghyun adalah pria istimewa dalam masa remaja Naya. Darah remajanya yang penuh cinta membuat Naya memilih Jonghyun untuk menjadi kekasihnya. Naya mengenal Jonghyun saat Naya tersesat di Soul. Jonghyunlah dewa penolong yang menunjukkan jalan baginya. Jonghyun mengantarkan Naya sampai rumah kala itu dan ternyata rumah Jonghyun tidaklah berjauhan dari rumah dinas ayah Naya. Sebagai orang baru di Korea, Naya memang terlalu berani. Dia cukup nekat untuk berjalan-jalan sendiri. Berbekal bahasa Korea seadanya dicampur bahasa Inggris Naya mencoba mengenal lika-liku Soul sendirian.
            Sejak peristiwa itu, Jonghyunlah yang menjadi pemandunya selama di Korea. Tidak salah jika kedekatan Naya dan Jonghyun telah menyemaikan benih-benih kasmaran. Jonghyun baik, lembut hati, dan tampan. Setidaknya bagi Naya. Selama kedekatan mereka nyaris tidak pernah Jonghyun mengecewakan Naya . Bisa jadi Naya yang membuat Jong sering bingung dengan tingkah kanak-kanaknya. 
            Naya mencintai Jonghyun itu pasti. Naya pun yakin hati laki-laki itu juga memilih dan mencintainya. Naya nyaris tak pernah mempermasalahkan perbedaan yang ada pada mereka. Hingga jurang perbedaan yang menganga besar itu menjadi batu sandungan dalam hubungan kasih yang mereka rangkai dua tahun. Suatu hari Naya menunjukkan penampilan yang tidak biasanya. Kerudung yang dipakai Naya menjadi pertanyaan besar Jonghyun. Naya menjawab dengan tegasnya.
Muslimah nanen.”
“Aku memutuskan memakai baju ini karena aku muslimah, ini wajib untuk muslimah, Oppa.”
“Kau tidak bisa memaksaku untuk memeluk agama Naya. Sejak dulu aku katakan aku atheis. Kalau topimu itu adalah usahamu agar aku memeluk agama, aku tidak bisa Naya.”
“Oppa, aku tidak memaksamu atau memintamu memeluk agama. Aku tahu kau atheis. Untung saja di sini, Soul, orang boleh menjadi atheis. Di negaraku, Indonesia, tidak ada orang yang tidak percaya akan keberadaan Tuhan.”
“Aku percaya Tuhan ada. Aku hanya tidak ingin memeluk suatu agama, kau tahu itu kan?”
Naya hanya diam mendengar jawaban Jonghyun. Naya tahu tak ada gunanya berdebat pada Jonghyun. Naya tidak bisa memaksakan pemikirannya pada Jonghyun.
“Aku hanya ingin kau menerimaku apa adanya, Oppa.”
            Perdebatan kecil itu adalah awal terkikisnya hubungan Naya dan Jonghyun. Naya tidak bisa menyalahkan kenekatannya berjalan di doldam street adalah penyebab itu semua. Kalau pun hubungan Naya dan Jonghyun harus kandas itu adalah karena Naya sadar bahwa Naya tidak bisa memaksakan Jonghyun mengikuti alur pikirannya. Naya sadar bahwa cintanya pada Jonghyun adalah cinta tulus yang penuh warna-warni kehidupan. Naya sangat menyadari  pemikiran Jonghyun dan pemikirannya soal atheis tidak akan bisa disatukan. Naya harus menerima semua ini. Naya tidak bisa memaksa Jonghyun dan Naya pun menghargai sikap Jonghyun. Tapi bagaimana dengan hubungan kasih di antara mereka selanjutnya? Pada akhirnya Naya pun memilih menuruti kata hatinya.
              Di suatu malam yang dingin. Lampu-lampu taman yang temaram menghiasi sarang bang. Layaknya candlelight dinner yang mewah, Oppa duduk di sebuah kursi merah dari beludru. Sebuah meja dengan lampu temaram tergantung di atasnya.  Sendok, garpu, serta perangkat makan lainnya  tersusun menawan di meja yang sedang dihadapannya. Setangkai mawar merah menjadi penghias meja yang ditata ala resto kelas atas. Sarang bang ini kebetulan sedang tidak ramai. Biasanya banyak pasangan yang memilih kencan di tempat ini.  Jonghyun  menunggu Naya ditempat ini. Ada hal penting yang ingin Naya sampaikan. Begitu pesan Naya dalam surat pendeknya.
“Sudah lama?”
Naya menarik kursi yang berhadapan dengan Jonghyun.
“Lumayan.”
“Oppa, ada yang ingin aku sampaikan. Aku mohon maaf padamu. Sebenarnya aku berat melakukan ini padamu. Berat rasanya hati ini meninggalkanmu.”pelan dan berhati-hai kata-kata itu diungkapkan Naya. Jonghyun tak bergeming. Masih menatap Naya dengan tenang.
“Oppa, aku harus pergi. Aku akan kembali ke negaraku. “
Jonghyun menahan napasnya sebentar. Serasa tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
“Naya? Bukan karena aku atheis, kan?”
Naya menggeleng pelan. Bibir Naya terkatup. Berusaha ditahannya segala yang mendesak di ruang hatinya.
“Aku telah memutuskan, Oppa. Aku memilih hidup di Indonesia. Di sana sebuah pekerjaan telah menungguku. Aku diterima sebagai penulis di sebuah majalah. “
“Bagaimana dengan hatiku? Kau sampai hati melukainya, Naya?”
Naya tak sanggup menjawab pertanyaan yang begitu memilukan dari Oppa. Perlahan kaca-kaca di mata Naya mencair dan mengalir. Oppa tak bisa banyak bicara. Oppa hanya menatap wajah Naya yang menahan segala perasaan cinta di hatinya.
“Aku pamit padamu, Oppa, sillehamnida...”
Naya tak sanggup lagi membiarkan matanya melihat Jonghyun. Naya tak sampai hati telah menyakiti hati lembut yang sangat dicintainya. Naya meninggalkan Jonghyun yang masih tak bisa menerima atas apa yang terjadi pada dirinya.
            Naya sadar yang dilakukannya jelas-jelas membuat hati Jonghyun retak berkeping-keping. Naya pun merasakan kepingan itu juga di hatinya. Naya memutuskan memilih jalan hidupnya. Naya sadar hubungannya dengan Jonghyun tidak akan bisa dipertahankan. Ini bukan karena kutukan Doldam Street tapi ini karena jalan hidup yang dipilihnya. Meski berat, inilah jalan yang harus diambilnya. Naya memilih untuk menyimpan Jonghyun dalam ruang hatinya yang terdalam. Biarlah ia di sana menghias labirin perasaannya. Naya tidak ingin menyakiti banyak orang  dengan memaksakan hubungannya dengan Jonghyun, meski separuh jiwanya harus hampa tanpa kehadirin Jonghyun.
            Naya tersadar tatkala sebuah sms masuk di hp nya.
Dari: Rida
Dimana Nay? Kamu balik kantor enggak? Dicari Pak Markus, tuh.
Oh tidak, Naya bermain dengan alam masa lalu cukup lama di Kebun Raya ini. Naya harus kembali ke kantor sebelum Pak Markus kebingungan mencari dirinya.
                                                                                  ***
            Setelah satu minggu berkutat dengan segala urusan kantor akhirnya Naya baru bisa membuka emailnya. Ternyata jika seminggu email tidak dibuka akan penuh dengan pesan yang belum dibaca. Jari Naya dengan lincah menggeser mouse menyortir surat-surat masuk untuknya. Ada beberapa surat dari orang yang tidak dikenalnya. Mungkin penggemarnya. Biarlah. Naya hanya melihat nama dan judul surat dari mereka. Tiba-tiba mata  Naya tertuju pada sebuah nama yang membuat jantungnya berdegup hebat. Jonghyun Oppa, mungkinkah Oppa yang kukenal?Setelah tujuh tahun Naya meninggalkannya. Setelah tujuh tahun Naya menghindar darinya? Lincah jari Naya membuka email dari Oppa.
Anyong haseo?
Aku sedang mencari seseorang bernama Naya. Naya Amida. Kekasihku yang sangat aku sayangi. Sayangnya dia pergi meninggalkanku. Aku sudah berusaha mencari dimana keberadaannya.  Aku mendapat alamat email ini dari sebuah majalah. Seandainya Anda adalah Naya yang kukenal, jawablah suratku ini. Saat ini aku berada di Indonesia. Aku mencari Nayaku. Jika Anda bukan Nayaku, maafkanlah suratku ini. Abaikan saja suratku ini.
Gamsahamnida.
            Naya tak kuasa menahan yang mendesak-desak di relung hatinya. Naya tak bisa membohongi hatinya. Naya tidak bisa melupakan Jonghyun. Meski tujuh tahun Naya meninggalkannya. Meski berkali-kali beberapa pria mencoba mengisi relung hatinya. Jonghyun tetap tersimpan rapi dalam sanubarinya. Hingga pada akhirnya Naya terpaksa mengikuti keinginan orang tuanya untuk menerima laki-laki lain. Rencana pertunangannya dengan Ridwan tinggal menghitung hari. Itulah yang membuat Naya memikirkan Jonghyun terus-menerus akhir-akhir ini. Ada perasaan bersalah yang amat sangat pada Jonghyun karena Naya akan menerima Ridwan dalam hidupnya. Ada perasaan tidak rela pula membiarkan Jonghyun hanya tersimpan rapi dalam sudut hatinya.  
            Naya tidak ingin menyakiti Ridwan, calon tunangannya karena hatinya hanya untuk Jonghyun. Naya pun tidak mungkin mengharapkan Jonghyun untuk dirinya. Naya menumpahkan segala sesak di hatinya dalam tangis sedunya. “Oh, Tuhan, apa yang harus aku lakukan?”Teriak batin Naya. Mengapa di saat menjelang pertunangannya dengan Ridwan akan berlangsung Naya malah dipertemukan dengan berita akan Jonghyun. Seandainya perbedaan antara Jonghyun dan Naya bukanlah masalah yang prinsip, pasti Naya rela pergi untuk Jonghyun, tapi ini?Naya berada dalam dilema.
            Naya membalas email Jonghyun.
Nanen Naya. Naya Amida.
Hanya kalimat itu yang ditorehkan Naya. Naya tahu tidak mungkin melanjutkan kembali hubungannya dengan Jonghyun, tapi Naya ingin sekali melihat wajah Jonghyun setelah tujuh tahun lamanya mereka berpisah. Bukan untuk kembali pada Jonghyun tapi ingin menegaskan hatinya bahwa dia harus meninggalkan Jonghyun dan pertemuan itu adalah permohonan restu baginya.
            Tiga puluh menit dari Naya menorehkan jawaban ke Jonghyun, Naya mendapat pesan lagi di inboxnya.
Naya. Aku ada di Indonesia, Jakarta. Aku sudah enam bulan di Indonesia. Terima kasih Tuhan, Kau pertemukan kembali aku dengan Naya. Ini nomorku Naya(0848589068) Cepat hubungi aku. Aku rindu suaramu.
            Naya tidak bisa lagi menahan hatinya untuk menghubungi Jonghyun. Naya begitu rindu pada kekasih yang ditinggalkannya itu.
                                                                 ***
            Jonghyun masih berbicara melalui ponselnya.
“Aku memang atheis, Naya, tapi aku percaya Tuhan itu ada. Aku atheis karena aku tidak ingin memeluk agama. Aku tidak mengerti mengapa agama begitu rumit mengatur hidup orang. Manusia kan punya akal pikiran sendirikan?”
“Oppa, Tuhan punya aturan itu untuk kebaikan manusia. Bukan untuk Tuhan. Karena apa? Karena Dia yang menciptakan manusia jadi dia tahu apa pun soal manusia.”
“Naya, aku percaya Tuhan itu ada, aku ingin kau membimbingku Naya. Apakah aku harus memeluk agamamu dulu?”
“Keyakinan tidak bisa dipaksakan Oppa, tidak bisa. Agamaku menyebutnya hidayah. Siapa pun yang Tuhan kehendaki mendapat hidayah, akan merasa mendapat anugerah.”
“Apa aku bisa?”
“Kenapa tidak?”
“Kau mau membimbingku?”
“Jika kau mau, akan ada banyak orang yang mau membimbingmu.”
“Naya, aku ingin menemuimu. Aku akan ke Bogor besok.”
“Baiklah, aku tunggu kau di Kebun Raya Bogor, besok hari libur pasti di sana akan sangat ramai. Kutunggu kau di sana.”
“Baiklah, Naya, tunggu aku.”
                                                                              ***
             Hari minggu ini Kebun Raya Bogor penuh sesak dengan orang-orang yang  berkunjung. Naya dengan hati yang berbunga menyiapkan hari ini. Dipakainya gamis berwarna biru kesayangannya. Jonghyun suka warna biru, Naya tahu sekali akan hal itu. Naya tidak sabar bertemu dengan Jonghyunnya meski dia tahu pertemuan mereka bukanlah jalan untuk Naya menyambung kembali hubungan mereka yang kandas. Naya hanya rindu pada Jonghyun, rindu pada wajahnya. Akan berubah seperti apakah Jonghyun sekarang?
            Naya berjalan dari arah utara menuju sebuah jalan ditepi sungai yang cukup panjang. Sungai Kebun Raya ini sering meluap jika hari hujan. Kebetulan hari ini mentari ceria menampakkan dirinya. Situasi yang jarang di Kota Bogor sebagai kota yang disebut kota hujan. Biasanya rintik hujan menghiasai Kebun Raya, membasahi beraneka pohon besar maupun kecil yang ditanam sejak ribuan tahun lalu.
            Dari seberang jalan tiba-tiba seorang laki-laki berkulit kuning memakai kemeja biru berteriak ke arahnya.
“Naya. Naya. Nanen Oppa, Jonghyun Oppa”
Naya  menatap orang di seberang yang melambai-lambaikan tangannya ke arahnya.
“Oppa...”
Orang-orang yang hendak menyeberangi sungai memperhatikan kelakuan Jonghyun. Jembatan merah menyaksikan peristiwa yang mengharukan itu. Naya tak bisa melepaskan pandangannya pada sosok yang memanggilnya. Sedikit berlari Jonghyun meminta perhatian Naya untuknya.
“Sarang hae...” teriak Jonghyun di keramaian. Tak peduli meskipun orang-orang melihatnya dengan mata penuh tanda tanya. Mereka toh tak tahu artinya.
Naya berdiri di seberang jalan dengan mata berkaca-kaca. Perasaannya membuncah hingga tak bisa berkata-kata. Ia hanya bisa membalasnya dengan gerakan bibir yang mungkin tak akan terbaca dari kejauhan. Aku juga mencintaimu, Oppa!
Glossari:
  1. Gamsahamnida: terima kasih
  2. Sille hamnida: permisi
  3. Sarang bang: kamar cinta
  4. Anyong haseo: apa kabar, seperti assalamualikum dalam Islam
  5. Nanen: saya




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perang Majas ( Metode Permainan dalam Pembelajaran)

Asal –Usul Nama Kue Cucur (Cerita Rakyat Betawi ),

KONJUNGSI TEMPORAL