Rumah Cinta yang Hitam



Asap mengepul-ngepul menebarkan aroma tembakau memenuhi wajah lelaki setengah baya itu. Wajahnya yang sangar berusaha didingin-dinginkan menahan hasrat yang meledak-ledak sedari tadi. Seorang wanita lima puluh tahunan memasang senyum yang dipaksakan berusaha membujuk lelaki setengah baya di depannya. Mami Mira, mereka menyebutnya begitu. Sambil memilin-milin rambut keritingnya Mami Mira meyakinkan lelaki di depannya.
“Kalau diganti yang lain saja bagaimana? Uci lagi enggak bisa. Lagi sakit.”
“Laki-laki di hadapnya tak menjawab. Hanya kepulan asap yang dihembuskannya. Mami Mira menahan kepulan asap yang berusaha menerobos penyaring di hidungnya.
“Kalau tidak mau, Bapak bisa datang lain kali. Uci tak bisa dipaksa. Kalau dipaksa....tahu sendiri, kan?”jawabnya manja mengerlingkan mata cukup menggoda.
Laki-laki itu tak mengeluarkan sepatah kata pun. Di dekatkan pipa rokoknya ke hidung Mami Mira. Mami Mira tak berkutik. Laki-laki itu pergi meninggalkan Mami Mira yang masih mematung.
“Kamu kenapa lagi sih Ci?Kalau begini terus pelanggan kita bisa habis Ci. Kamu enggak mau kita kelaparan, kan Ci?”
Mami Mira , induk semang di rumah cinta bukanlah induk semang yang jahat seperti halnya digambarkan dalam sinetron-sinetron kebanyakan. Meski tak bisa dikatakan baik, Mami Mira nyaris tak pernah memaksa gadis-gadis asuhannya untuk mengikuti kehendaknya. Mami Mira tidak kasar meski hidup di garis tangannya begitu memerihkan. Meski terjal dan cadaslah yang mengganti hati dan nuraninya. Bahasanya lembut, menentramkan, keibuan. Sebab itulah Mami Mira dijadikan Mami oleh gadis-gadis penghuni rumah cinta. Bukan karena Mami pemilik rumah cinta ini, bukan karena Mami memiliki gadis-gadis di sini tetapi karena Mami menggenggam hati-hati kelam gadis-gadis di sini.  Mami  memiliki jiwa mereka yang menyerahkan diri pada kenistaan.
Mereka yang masuk ke sini adalah korban dari kejamnya kehidupan. Mami Mira bisa merasakan hal itu. Dulu pun dia adalah korban bagi nasib buruknya. Kepahitan cinta yang terlanjur menyeret hidupnya dalam kubangan dosa. Rumah cinta hanyalah satu dari puluhan  kolam dosa yang pernah menampungnya. Bukan tidak ingin keluar dari kubangan lumpur nista ini, tetapi garis tangan buruknya lagi-lagi menyeretnya kekubangan ini kembali. Rumah cintalah, rumah hitam terakhir yang menjadikannya induk semang karena keseniorannya. Senior dalam hal kenistaan.
Uci masih tak menggubris rayuan Mami Mira. Uci tak lagi punya gairah. Jangankan untuk bekerja untuk bernapas saja rasanya enggan.
“Uci tidak sanggup lagi Mami, tidak kuat Mami.”
Berat suara Uci menahan rasa yang menyeruak di rongga-rongga dadanya.
“Hati Uci menolak, Mami. Sakit, sesak, Uci harus berhenti sampai di sini.”
Perlahan bening air mata itu menyusuri lekuk-lekuk wajah Uci. Mami memeluk kepalanya seperti seorang ibu yang berusaha menenangkan buah hatinya.
“Ada apa Ci?  kamu bertemu dengan seseorang ?Atau kamu baru saja membaca sesuatu?”
“Ini dosa Mi, ini nista.”
Mami Mira mengatupkan bibirnya, kepalanya menggeleng.
“Apakah kamu baru tahu kalau pekerjaan kita ini dosa, Ci?Apakah sejak dahulu kamu tidak sadar pekerjaan kita ini nisata ,Ci?”
Uci menggeleng. Tangis itu meledak. Menerobos bendungan di hatinya.
“Kamu sudah tahu itu sejak kau injakkan kakimu di rumah cinta ini. Sejak tidak ada lagi Jerry, tidak ada yang memaksamu tetap berada di sini. Mengapa baru sekarang kau katakan pekerjaan kita dosa Ci?”
Uci membungkam. Hanya isak yang masih ada.
“Kita harus keluar Mi, kita harus tobat.”
“Kata-kata Uci menusuk relung jantung Mami Mira. Sakit. Meski sakit adalah temannya, Mami Mira bisa merasakan betapa kata-kata Uci benar-benar melumpuhkan sebagian keangkuhannya.
“Tobat? Tuhan bersih Ci, kita kotor. Mana mau yang bersih dan suci itu menerima kita? Dari jauh saja sentilan tangannya mampu membuat kita terjungkal dan masuk lagi ke kubangan nista ini. .”
Hening menghinggapi Uci dan Mami Mira.
“Sudahlah Ci, ini takdir kita, ini garis tangan kita. Bisa apa kita?” Lanjutnya lirih. Sebenarnya ini adalah ekspresi keputusasaannya. Berkali-kali Mami berusaha keluar dari lembah ini, berkali-kali pula dia kembali ke lembah dosa ini.
            Mami terdiam. Melumpuhkan segala keangkuhan dan kekuatannya. Yang dihadapinya kini bukanlah sesuatu yang baru baginya, berkali-kali bahkan itu terulang dalam episode hidupnya. Mami Mira memandangi wajah lemah Uci. Kau masih terlalu muda Ci, aku masih bisa melepaskan semua ini, tapi aku?
                                                                       ***
            Surat peringatan terakhir untuk mengosongkan rumah cinta sudah berkali-kali dibacanya. Hari ini jam dua belas buldoser itu akan merobohkan puing-puing kenistaan. Menghancurkan penyebab azab di sekelilingnya. Mami Mira masih betahan di dalam kamarnya yang pengap. Semua penghuni sudah pergi. Mereka takut akan kemarahan warga, mereka takut keganasan buldoser yang siap meratakan rumah mereka.
            Suara mesin buldoser dan teriakan warga tak mampu membuat Mami Mira bergerak. Seorang lelaki di depan mesin buldoser memberi komando untuk menghancurkan bangunan suram itu. Teras depan perlahan tapi pasti menggugurkan puing-puingnya dalam kepingan. Suara bising tak membuat Mami Mira hengkang. Tiba-tiba seorang wanita muda berjilbab putih menghampiri laki-laki di depan buldoser.
“Pak, saya mohon hentikan mesin itu sebentar saja. Masih ada orang di dalam Pak. Saya akan membujuknya keluar.”
“Tapi waktu kami tak banyak Mbak. Atasan kami meminta ini cepat diselesaikan. “
“Sepuluh menit saja, Pak. Saya mohon.”
Kedua telapak tangnnya ditangkupkan seperti menyembah. Suaranya semakin parau. Isak sesekali menyelingi gadis itu. Siapa yang sampai hati membiarkan seorang wanita dengan kesedihan yang sangat memprihatinkan. Lelaki itu  membuka tangnnya  menyilakan si wanita muda masuk.
“Terima kasih Pak, terima kasih.”
            Wanita muda itu masuk ke kamar Mami Mira. Wanita muda itu adalah Uci. Uci benar-benar menuruti kata hatinya untuk berhenti  waktu dulu itu. Perjalanan tobat yang penuh liku dan luka telah dienyamnya. Kini Uci bekerja menjadi TKI di Arab Saudi. Satu-satunya jalan keluar  dari rumah nista itu adalah pergi sejauh mungkin dari rumah itu dan jangan sekali pun menengok ke belakang sebab lambaian tangan rumah cinta adalah jerat yang akan memenjarakan. Uci terpaksa kembali ke tempat ini bukan untuk menyerahkan diri pada penjara itu tapi untuk menarik Mami Mira keluar dari rumah itu.
            Mami Mira mematung.   Guratan di wajahnya semakin melukiskan betapa tua dan menderitanya Mami. Garis-garis halus di pipinya semakin nyata. Keayuan dan kecantikannya memudar seiring berjalannya waktu. Uci menggenggam kedua telapak tangan Mami. Diciumnya telapak tangan yang tidak lagi selembut dulu. Mami Mira menatap Uci. Bening air mata mengalir menyusuri kerutan-kerutan halus wajahnya.
“Uci...U...Uci...”
“Iya Mami. Ini Uci. Uci kembali ke sini untuk membawa Mami keluar.”
“Ke...lu...ar...”
Terbata tanpa energi Mami  Mira berucap sambil menatap lekat gadis di depannya.
“Iya Mami. Kita keluar. Sekarang. “
Mami Mira perlahan menyentuh kerudung putih yang dipakai Uci. Dengan cepat ditariknya kemabali tangannya seolah menyentuh apimyang sangat panas. Uci masih dalam keharuan jiwanya.
“Aku kotor. Tak pantas sentuh itu. Tuhan marah Ci. Tuhan tidak akan pernah sudi menerimaku.”
“Tidak Ma. Tuhanku, Allah Maha pengampun Ma.Sebanyak apapun dosa kita sebesar gunung pun pasti diampuninya.”
“Diampuni?Kau yakin?Diterima?”
Uci dalam kegamangan. Waktunya tak banyak.
“Uci tidak tahu Mi, apakah Allah menerima Uci. Yang Uci tahu Allah membuat jiwa Uci tenang Mi, damai. Allah menentramkan galau dan lara di hatiku, Mi.”
“Tenang?...Ya tenang, aku mau Ci. Aku harus mati untuk bisa merasa damai dan tenang.”
“Mi, kita keluar sekarang . Rumah ini akan dihancurkan...”
            Belum lagi Uci selesai berbicara, sekonyong-konyong sebuah tiang besar menghantam mereka. Tubuh Mami Mira tertindih. Uci masih bisa menghindari terpaan kayu besar itu.
“Uci...aku takut...Uci...”
Teriakan mami Mira membuat Uci panik. Uci tak bisa berbuat banyak. Uci hanya berusaha mengangkat kayu yang menimpa punggung Mami Mira. Dalam keadaan tidak sadarkan diri akhirnya Mami Mira dibawa keluar. Sebuah ambulan membawa Mami Mira ke rumah sakit. Uci memandang pilu wanita tua di pangkuannya. Tiba-tiba jari Mami Mira menggenggam kuat jari-jari Uci. Lirih Mami Mira membisikkan sesuatu di telingan Uci.
“Ci, tanyakan pada Tuhanmu, apakah dia mau menerima aku yang sangat kotor ini?”
Uci hanya mampu menganggukkan kepalanya. Mengatupkan rapat-rapat bibirnya menahan kelu. Air matanya tak lagi bisa dibendung. Lara itu akan terus ada Mi. Yang pasti kita tidak boleh lagi berada di rumah cinta itu. Rumah cinta yang hitam yang menghitamkan segala yang ada di dalamnya.Yang kini rata dengan tanah. Jangan pernah menoleh kebelakang lagi. Tutup telinga, pandanglah terus ke depan. Di depan sana masih ada cahaya yang benderang. Cahaya ilahi. Cahaya itu yang akan menunjukkan jalan untuk kita menujuNya.  Allah Yang Maha pengampun, bimbing kami menujuMu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perang Majas ( Metode Permainan dalam Pembelajaran)

Asal –Usul Nama Kue Cucur (Cerita Rakyat Betawi ),

KONJUNGSI TEMPORAL