Pemanjatan Terakhir
oleh: Ade Ganiarti
Kuseka air mataku dengan ujung jilbabku. Kupandangi
bayi mungilku yang terbaring lemah dengan selang-selang itu. Kalau ditanya
bagaimana perasaanku hari ini aku tak mampu lagi mengungkapkan perasaanku saat
ini. Baru saja dua bulan lalu aku merasakan kebahagiaan akan kehadirannya yang
mengisi hari-hariku. Dua bulan yang menyentuh setelah lama aku nantikan
kehadirannya. Masih teringat tangan mungilnya yang menyentuh wajahku. Tubuh
mungilnya yang memaksaku memperlakukannya dengan lembut padahal aku bukanlah
orang yang lembut.
Mas Arif, suamiku berusaha untuk menenangkan
jiwaku. Mas Arif begitu sabar dan pengertian. Sampai hari ini pun aku tak habis
pikir mengapa dia bersedia menikahiku. Aku hanya bisa membisu tanpa kata karena begitu terkesima melihat ketulusan
hatinya saat melamarku. Dia bisa menerimaku, meski dia tahu benar siapa aku.
Sebagai orang yang tak punya pilihan, aku menerima lamarannya. Aku sangat
bersyukur dengan anugerah itu, dan sebagai tanda rasa syukurku aku benar-benar
menjadikan Mas Arif sebagai imam buat hidupku. Satu hal yang aku salut padanya,
Mas Arif benar-benar bisa mengajakku ke jalan yang menurutku bisa menenangkan
jiwa. Jalan yang dulu aku remehkan. Jalan yang dulu tak pernah aku pedulikan.
Jalan ilahi Robby kata suamiku.
Bayiku
menggeliat lemah sementara aku di sini di balik kaca hanya mampu memandanginya.
Perasaan bersalah itu kerap hadir di hatiku. Kenapa aku dulu seperti itu?
kenapa aku begitu rapuh. Hingga kini bayiku yang tanpa dosa itu harus mendapat
imbasnya. Penyesalan yang takan pernah ada habisnya. Penyesalan yang tinggal
penyesalan. Anakku…maafkan bunda, karena bunda kau menjadi seperti ini.
Bayiku
memang lahir normal, tetapi setelah dua bulan kelahirannya ternyata dokter
mengatakan ada kelainan pada organ tubuhnya. Ada masalah serius pada
paru-parunya. Yang menyakitkan buatku adalah pernyataan dokter yang mengatakan
kelainan pada bayiku terjadi karena zat-zat terlarang yang terkandung dalam
tubuhku. Oh…tidak….narkoba itu….kau tak pernah benar-benar lepas dari
hidupku..Meski pertobatan yang aku lakukan sudah sampai di sini. Aku hanya bisa
menitikkan air mata saat dokter menjelaskan perihal anakku. Suamiku berusaha
menenangkanku. Maafkan aku Mas, kurusak bayimu, kurusak anak kita.
***
Bel
berbunyi keras sekali serasa di telinga. Masih seratus meter lagi Dinda baru
bisa sampai di sekolah tapi suara bel itu benar-benar memekakan telinganya.
Dinda berusaha berlari sekuat tenaga, dan herannya hanya Dinda yang ada di
jalan itu. Biasanya ada
beberapa siswa lain yang berjalan di jalan ini. Kenapa hari ini hanya Dinda
yang terlambat?
Masih
terengah-engah akhirnya Dinda sampai di pintu gerbang. Seorang bapak paruh baya berada di balik gerbang.
“Maaf
Neng Dinda, sudah masuk dari tadi dan sudah tidak boleh ada yang masuk lagi. “
“Yah
Bapak, tolong deh pak…sekali ini aja. Saya ada ulangan nih.” rayu Dinda.
“Maaf
Neng” jawab Satpam yang ngeloyor meninggalkan Dinda.
Dinda
tak punya harapan lagi. Ditariknya napas dalam-dalam. Pikirannya kalut nyaris
tak bisa berpikir. Dengan langkah gontai Dinda meninggalkan gedung itu. Gedung
sekolahnya yang baru saja direnovasi.
Dinda
sampai di sebuah warung kecil. Di sana sudah ada tiga orang sahabatnya yang ternyata juga terlambat. Wajah
Dinda berseri ternyata tidak hanya dia yang terlambat. Dia tidak sendirian, ada
Kabul, Rian dan si tampan Elga di sana.
“Udah
sini…lo da sarapan blom?” ledek Elga.
“Eh
iya, makasih Ga. Punya apa loh hari ini?”jawabnya.
“Kita
ke markas yo. Nagapain di sini ? kalau Si Marta lewat sini bisa berabe kita”
kata Kabul sambil mengepulkan asap rokok dari mulutnya. Marta adalah nama guru
Kimia mereka yang terkenal disiplin. Bu Marta paling tidak suka jika ada
anak-anak yang suka nongkrong bergerombol.
“Boleh…tapi
gue ogah ah kalau sendiri. Ajak Ais ya?”jawab Dinda.
“Terserah
deh, tahu aja kalau dia itu bisa bikin gue semangat. “kata Elga
Dinda
menyalakan Hpnya. Dan menekan huruf-huruf di hp nya.
Ais,
gue telat. Gue kesel banget. Gue mau ke markas. Gue tunggu lo di belakang sekolah.
Setelah
SMS dikirim, Dinda, Kabul, Elga, dan Rian menuju belakang sekolah.
***
Kuregangkan
otot leherku yang cukup tegang. Ulangan matematika yang membuat serabut otakku
keriting. Uph…baru saja Pak Mono meninggalkan kami yang rada stres lantaran
soal ulangan yang hanya bisa dikerjakan oleh dirinya sendiri. Kubuka SMS masuk.
Dari:
Dinda
Ais gue telat. Gue kesel banget. Gue mau ke markas. Gue tunggu lo di belakang
sekolah.
Dinda?
ah tawaran yang menggiurkan. Aku juga sudah mulai bete di kelas. Tapi bagaimana
aku ke belakang sekolah? Nanti kalau tertangkap yang ada bisa jadi masalah.
Sampai detik ini aku adalah anak manis yang disuka banyak guru. Meski tak
terlalu pandai guru-guru sekolahku tahunya aku adalah anak yang bisa
dikategorikan baik. Sopan, disiplin, meski sesekali aku suka terlambat juga.
Tapi tawaran Dinda benar-benar menggiurkan. Apalagi setelah ini adalah jam
pelajaran Bu Shinta guru Perancisku.Sampai kepalaku botak pun aku tetap saja
tak bisa memakai bahasa yang kata orang keren itu.
Aku
berusaha untuk bersikap biasa. Mumpung belum ada guru yang lewat. Kulewati
kelas-kelas yang kebetulan juga belum ada gurunya karena jam ganti pelajaran
sudah dimulai. Rupanya usahaku berjalan dengan mulus. Kini aku sudah berada di
belakang sekolah. Pagar tinggi itu sebentar lagi akan kupanjat. Kunyalakan hp
ku dan menelepon ke Dinda.
“Halo,
din. gue udah ada di belakang nih. Di depan dijaga satpam. Kayaknya lagi aman
nih. Gue lempar tas gue dulu ya…lo tangkep”
yang
disebrang cuma bilang “oke..oke..”
Celingukan
kupandangi tempat itu kalau-kalau ada yang melihat. Rasanya aku akan aman deh hari ini. Dengan sekuat
tenaga kulempar tasku ke balik pagar. Aku yakin di sana teman-teman setiaku
akan menaggapi tasku. Sekarang giliran aku yang harus memnajta pagar itu. Pagar
belakang sekolah yang cukup tinggi. Perlahan kupanjat dan dengan sedikit susah
payah aku berhasil meraih bagian puncaknya.Aku berhasil mencapai puncak.
sekarang giliran bagian turun. Kulihat sahabta sejatiku menungguku.
“Cepat Ais…ada orang gak di
Aku
hanya menggeleng. Aku harus menyelesaikan sisa pekerjaanku. Akhirnya aku
berhasil melewati pagar itu. Dinda tertawa terkekeh. Elga ,
“Wah salut gue ma luh. Top. Ya udah kita ke markas
sekarang.” kata Rian.
Kami pergi menuju markas. Sebuah gudang yang tidak
lagi dipakai pemiliknya. Kotor memang tapi kami senang di sini. Di sini kami
bisa istirahat dan mengistirahatkan otak kami yang sering panas. Di sini kami
berbagi akan hidup kami. Dinda, anak pandai di sekolahku. Dinda frustasi karena
orang tuanya yang selalu menuntut Dinda selalu jadi nomor satu. Tuntutan itu
rupanya menjadi beban buat dia. Tidak semua orang tahu apa yang dialami batin
Dinda. Yang banyak orang tahu Dinda
adalah anak seorang dokter yang sangat beruntung. Keberuntungan yang luar biasa
karena perpaduan otak orang tuanya itu Dinda menjadi brilian. Sampai akhirnya
Dinda sering mengambil diam-diam obat-obatan ayahnya. Dinda memakainya setelah
tahu apa manfaat obat-obatan itu. Sayangnya, tujuan Dinda menggunakannya adalah
ingin lepas dari masalah-masalah batinnya.
Elga si tampan. Dia memang tampan tak ada yang tahu
mengapa dia di sini , aku pun tidak tahu. Yang aku tahu Elga senang berada di
sini dan kami pun senang karena tanpa Elga kami tak bisa senang-senang lantaran
Elga memiliki lebih banyak uang daripada kami.
Rianlah
yang mengenalkan kami tempat ini. Bagi Rian markas ini adalah tempat terindah
baginya untuk menenangkan diri. Perceraian orang tuanya membuat dirinya tak
lagi betah di rumah. Kehilangan kasih sayang tepatnya. Sedangkan aku? aku tak
punya masalah apa-apa. Mereka teman-temanku yang baik. Keluargaku baik-baik
saja. Umi baik, Abi baik hanya saja sudah satu smester ini Umi dan Abi sangat
sibuk. Mereka sedang menjalankan bisnisnya. Aku ke sini hanya ingin saja dan
jujur kukatakan aku ketagihan. Habis di rumah aku kesepian.
Kulihat Dinda mengeluarkan sesuatu dari tasnya.
Sebuah suntikan baru. Ah Dinda dapat saja alat itu. Rian tersenyum dan Elga
malah tertawa.
“Dapat lagi lu?”
“Kita
coba ya…Ais, mau coba gak?” kata Elga padaku.
“Lo bisa gak?” tanyaku meragukan
“Sini”
kata Dinda yang menarik lenganku. Aku hanya bisa pasrah.
Dinda memasukkan jarum suntik ke salah satu
lenganku dan perlahan seperti ada cairan yang masuk ke aliran darahku. Dinda
tersenyum melihat yang dilakukannya padaku. Tiba-tiba mataku berkunang-kunang
dan entah tak tahu apa lagi yang terjadi. Dinda menggoyang-goyangkan tubuhku.
Wajahnya panik dan ketakutan.
“Ais…Ais… bangun Ais…” katanya. Elga hanya
memandangi kami.
Busa keluar dari mulutku. Sehingga menambah
kepanikan Dinda. Rian memegang tubuhku yang kejang.
“Berikan
padanya cepat. Dia over dosis.” kata Kabul.
Diminumkannya
minuman yang ada di tangannya. Tapi tak sedikit pun adaperubahan berarti
padaku.
“Kita
harus membawanya ke rumah sakit. Aku takut El, aku takut Ais mati.”isak Dinda
dan Elga pun meminta Kabul dan Rian untuk menggotong tubuhku.
“Cepat
bawa ke taksi kita bawa ke bakti husada saja.”perintah Elga.
Taksi
membawa kami ke bakti husada. Di bakti husada aku tak bisa diterima karena kami
tak punya uang. Elga langsung meloby petugas rumah sakit. Elga, Rian, dan Dinda mengumpulkan jam tangan
mereka untuk menjadi jaminan supaya aku bisa ditangani. Dinda benar-benar
ketakutan akan keadaanku. Elga berusaha menghubungi mamaku di kantornya.
“iya
tante…kami di bakti husada”
Rian,
Kabul ,Dinda tertunduk dengan perasaan masing-masing. Wajah tegang itu
menghiasi Dinda.
***
Bunda memandangi diriku yang terbaring lemah tak
berdaya. Matanya merah berkali-kali disekanya. Wajah bunda terlihat seperti menyesal sekali. Anak manisnya kini berbaring
karena narkoba. Kemana saja dia selama ini? Apa saja yang dilakukannya sampai
tidak tahu barang haram itu menjadi sahabat putrinya. Selama yang dia pantau putri manisnya sangat
manis. Tak pernah sedikit pun putri manisnya bikin ulah. Tak pernah sekalipun
menurut pantauannya si manis ini menyusahkannya. Rupanya dia tak mengenal
putrinya. Meski sepertinya sang putri tak pernah jauh darinya.Meski dia merasa
senantiasa berada di sisi putrinya. Kemana saja hatinya? kemana saja
firasat keibuannya?
Ya
allah, aku bunda tak berguna. Aku merasa selalu di sisinya tapi ternyata aku tak tahu apa-apa tentangnya.
Rasa sesak di dada bunda. Merasa kecolongan dalam mendidik putrinya.
***
Setelah dua minggu aku terbaring di rumah sakit,
bunda memutuskan membawaku pulang. Sahabat-sahabatku sering menjengukku. Saat
menjengukku, yang terlihat wajah penyesalan. Sebab aku hanya mampu memandangi
mereka dengan tatapan kosong.
“Ais…Aisyah…ini
Dinda” Dinda mengibas-ngibaskan tangannya ke wajahku. Tak adasedikit pun
reaksiku.
“Ais…maafkan
aku, Ais…” isaknya penuh penyesalan.
Aku
bagaikan mayat hidup. Tak ada yang bisa kulakukan bahkan untuk mengangkat
tanganku pun tak bisa.
Orang
tuaku berusaha mengobatiku kemana-mana. Mereka nyaris kehilangan buah hati mereka. Mereka tak mau benar-benar
kehilangan buah hatinya. Aku pun diobati dan berangsur aku pulih. Tempat rehabilitasi
terakhirku adalah sebuah pondok pesantren. Disinilah aku menemukan jiwaku
kembali. Aku terlahir kembali. Di sinilah aku menemukan Mas Arif, suamiku yang
kini tengah memperhatikan bayi kami yang lemah.
____________________________
Dokter
Dinda dan Rian menghampiri kami.
“Sabar
ya ,Ais…pelajaran berharga buat kita.” katanya lirih.
“Aku
harus bisa menerimanya. Nda, doakan aku kuat ya…”kataku.
“Bersyukurlah…Allah
mengajarkan kita dengan caraNya ke kita” kata Rian.
“Bersyukurlah
ada suamimu kini.”Kata Dinda.
***
Ternyata
pemanjatan itu adalah pemanjatan terakhirku di sekolah. Pemanjatan terakhir
yang mengubah duniaku. Seandainya tak pernah aku memanjat di jam pelajaran
sekolah saat itu mungkin aku tak pernah ada di sini.Bersama Mas Arif dan bayi
mungilku yang terbaring lemah di sana. Mungkin aku tak pernah menghargai
hidupku. Mungkin aku tak pernah mengenal Tuhanku. Terima kasih Allah. Atas apa
yang terjadi buatku.
selesai
sebuah
kisah tentang barhaya narkoba
Komentar
Posting Komentar