JILBAB UNTUK MEYLAN
Oleh : Adenia
”Lina, mana
adikmu? sudah siang nih. ” teriak papa dari ruang tamu.
Lina masih mencari sepatunya di kolong meja sambil
menyahut.
”Masih di kamar ,
”Duh… mana tuh sepatu ya?” umpatnya.
”Cepat Lina. Nanti enggak enak sama
Khungkhung dan Phopho.”teriak papa lagi.
Lina tak
menjawab dan langsung ke kamar adiknya. Setelah membuka kamar Meylan, Lina
terkejut melihat adiknya di depan kaca sedang merapikan jilbab di kepalanya.
”Mey, kau gila? Kita mau ke rumah Khungkhung. Ini sincia, Mey. Kamu gak
boleh pakai jilbab. Nanti phopho bingung!”katanya.
“Aduh Ci, kalau aku tidak pakai jilbab nanti aku
yang bingung. Aku enggak bisa jalan, Ci.” jawab Mey.
”Ini sinchia Mey. Sinchia!” kata Lina lagi
mengingatkan.
“Biar kita sudah muslim, kita harus menghormati keluarga
besar kita. Khungkhung pasti enggak suka kalau kamu pakai jilbab itu.” kata
Lina.
”Tapi Ci, aku mau pakai jilbab. Masa sudah sebulan aku
pakai jilbab kulepas lagi hanya karena mau ketemu phopho?”rengut Meylan.
Lina dan Meylan masih berdebat di
kamar Meylan. Papa yang tidak sabar menunggu menghampiri mereka.
“Lina, Meylan, kenapa sih lama sekali?kamu orang sedang
apa sih? tanya papa.
“Ini pa. Mey enggak mau lepas jilbabnya. Kita kan mau ke
rumah phopho, ini Sinchia. Apa kata keluarga besar kita? Yang ada mereka akan
semakin sinis dengan keluarga kita. Aku enggak bisa bayangin mukanya Ii Vivian
kalau lihat kau berjilbab.” cerocos Lina.
Meylan masih merengut mempertahankan jilbabnya.
“Kalau enggak pakai jilbab, Mey enggak usah ikut
saja deh, Pa.” kata Meylan akhirnya menyerah.
Papa
tersenyum melihat anak-anaknya. Air matanya menitik perlahan. Papa teringat
pada mama yang sudah dua tahun meninggal. Mama yang mengenalkannya dengan Islam
dan berpisah pada keluarga besarnya. Papa bukannya ingin pisah dari
keluarganya. Hanya saja keputusan papa kembali ke Islam telah membuat sakit
hati keluarga besarnya. Papa tidak ingin keluarga itu makin membencinya dan
akhirnya papa meninggalkan keluarganya. Bertahun-tahun
papa mencoba berdamai pada keluarga besarnya. Papa sudah berusaha untuk kembali
dan berusaha agar mama bisa diterima dalam keluarga besar.
Setelah mama meninggal rupanya pintu
maaf itu baru terbuka. Keluarga besar papa sudah mulai menerima papa kembali.
Beberapa kali papa menghubungi keluarga besarnya meski hanya melalui telepon. Dari
situlah Mey dan Lina mengerti silsilah keluarganya. Mey jadi tahu kalau dia
memiliki keluarga yang besar. Ada Ko Wiliam, Ci Meli, Ii Vivian, Khungkhung dan
phopho. Dari sekian nama-nama itu hanya Ii Vivian saja yang pernah Lina lihat
wajahnya, itu juga tanpa sengaja Lina melihatnya dari jauh saat papa
mengajaknya ke Plaza Semanggi.
Papa tidak melarang Mey berjilbab malah senang saat Mey
mengatakan keinginannya berjilbab. Papa bangga pada putrinya. Papa
tersenyum pada kedua putrinya.
“Mey, boleh pakai jilbab itu. Mey enggak takut kan sama Ii?” kata papa.
“Mey, lagi berusaha nih Pa. Cuma takut sama Allah dan sama
Papa.” jawab Mey.
“Tapi Mey, ini adalah pertemuan pertama kita dengan
keluarga besar, Mey. Apa Mey tega papa diusir lagi oleh Khungkhung? Setelah
bertahun-tahun papa memperjuangkan bisa kembali ke keluarga Khungkhung, kau mau
papa dimusuhi lagi?” perlahan air mata Lina mengalir.
Mey tidak tega tapi Mey ingin pakai jilbab. Mey tak tahu lagi apa yang harus
diperbuatnya.
”Mey, papa ada ide, gimana kalau jilbab Mey
dimasukkan dan Mey pake topi. Gaya loh Mey.” kata papa. Mey tersenyum. Papa yang bijak. Padahal papa bisa saja mengajak Mey tanpa
pedulikan kata-kata Lina. Papa hanya tak ingin Lina bersedih. Papa tak peduli
dengan keluarga besarnya yang terpenting bisa mengunjungi mereka, mau diterima
atau tidak itu tak begitu jadi masalah buat papa.
***
Meylan, Lina, dan papa hadir setelah keluarga besar
berkumpul. Mereka sedang merayakan Sinchia. Papa ke sini bukan untuk merayakan
Sinchia hanya ingin bertemu Phopho dan KhungKhung dan mempertemukan kedua
putrinya pada Khungkhung mereka.
Di sana sudah ada Khungkhung dan phopho. Dua orang
tua itu duduk di bangku besar. Mereka dikelilingi oleh keluarga besar papa. Ii
Vivian, Ko Wiliam, Ci Meli, semua berkumpul. Papa mendatangi phopho dan mencium
tangan phopho. Mereka berpelukan. Ada keharuan yang mendalam. Anak phopho yang
telah lama pergi kini kembali.
Khungkhung memeluk kedua cucunya.
“Oh, cucuku sudah besar. Kalian cantik. Mirip
phopho masih muda.”kata khungkhung
Semua di ruang itu larut dalam keharuan. Tidak
sedikit pun kemarahan di wajah mereka.
”Maafkan kami, Fandy.
Kami telah membuangmu padahal kami tahu keyakinan tidak bisa dipaksakan. Kami
bahagia karena kau benar-benar menjadi muslim, bukan hanya main-main. Kami pikir kamu akan menderita karena
cintamu yang buta.”kata khungkhung.
“Kami
bisa menerimamu, Meylan, LinaLai, kami bisa menerimamu kini. “kata Ii Vivian.
“Kalian anak yang manis. Meski kita beda keyakinan.
Kalian bisa menjaga papa kalian. Kami ucapkan terima kasih” kata Ko Wiliam.
Phopho memberikan kepada kedua putri itu dua buah
bungkusan. Mereka membukanya.
”Phopho tidak tahu kado apa yang tepat buat kalian,
mungkin kalau jilbab itu kalian akan pakai. Bukankah muslim pakai jilbab?”
tanya phopho.
Meylan menahan air matanya yang tumpah perlahan.
”Terima kasih phopho, terima kasih Khungkhung…”lirih
jawabnya.
Papa terharu melihat putri-purinya
bersama mereka. Seandainya mama masih ada, pasti mama bangga melihat
putri-putrinya yang bisa nernaur dengan keluarga besar papa.
______________________
Koko =kakak laki2
cici=kakak perempuan
Ii=bibi
Khungkhung=kakek
Phopho=nenek
Sinchia= imlek.
.
Komentar
Posting Komentar