Bacang Si Jago Silat
oleh : Adenia
Sinta
menjerit keras saat Bacang menarik kuncir rambut panjangnya. Karena kesakitan
Sinta memberikan kotak makannya ke Bacang. Sinta ketakutan dan lari
meninggalkan Bacang. Teman-teman yang melihat peristiwa itu hanya diam. Tak
satu pun berani melawan Bacang. Semua anak di sekolah ini tahu bahwa Bacang
jagoan. Tidak satu pun murid yang berani menentangnya. Bahkan untuk mengadu
pada bapak atau ibu guru pun mereka tidak berani. Mereka takut pukulan atau
tendangan Bacang akan mendarat di tubuh mereka.
“Siapa yang berani
padaku?” Ancam Bacang pada teman-temannya.
Satu per satu
teman-teman Bacang meninggalkan Bacang. Dari pada meladeni sang jagoan lebih
baik mundur teratur tanpa mencari perkara dengan Bacang.
Sinta bukan korban pertama. Sudah banyak teman Bacang
yang menjadi korbannya.Lama kelamaan teman-teman Bacang menjadi tidak suka
dengan sikap Bacang. Mereka takut berurusan dengan Bacang. Mereka memilih
menjauh atau menghindari Bacang. Hingga tak ada satu pun teman yang mau bermain
bahkan mendekatinya.
Bacang marah dan kesal karena tidak ada satu pun yang mau
bermain dengannya. Sebenarnya Bacang merasa sedih dikucilkan teman-temannya.
Sayangnya, Bacang bukan introspeksi diri malah marah pada teman-temannya.
“Jadi, kamu tidak mau
berteman dengan aku lagi, Ndi?” Bacang marah ketika Andi berusaha menjauhinya.Andi
diam ketakutan.
“Sejak kapan kamu
berani memusuhiku?”Bacang geram.
Dipukulnya wajah Andi
hingga Andi terjatuh sambil menahan sakit di hidungnya. Hidung Andi berdarah.
Andi marah melihat darah dari jari tangannya tetapi Andi tak berani mealawan.
Bacang masih belum puas melampiaskan kekesalannya. Tidak beberapa lama Bu Mia
dan Bu Sri datang ke tempat itu. Bu Mia langsung menarik tangan Bacang dan
membawanya ke ruang guru. Sedangkan Bu Sri langsung membawa Andi ke ruang UKS
untuk diobati. Bu Sinta memberikan sebuah surat ke Bacang.
“Berikan surat
panggilan ini ke orang tuamu, Bachram. Pastikan orang tuamu datang ke sekolah
besok untuk mengetahui perbuatanmu. Silakan kamu pertanggungjawabkan
perbuatanmu.”
Bu Mia menyampaikan
perintah itu dengan suara yang datar. Tidak keras tetapi mampu membuat Bacang
diamtak berkutik.
***
Sepulang sekolah Bacang langsung ke kamar. Wajahnya
murung dan bingung. Bacang bingung bagaimana menyampaikan surat panggilan dari
Bu Mia kepada ibunya. Jika disampaikan pasti ibu akan sangat marah tetapi jika
tidak, bagaimana dia akan ke sekolah besok? Bacang ketakutan.
Ibu datang ke kamar Bacang sambil membawakan makanan.
“Bachram, makanlah
pasti kamu lapar.”
Bacang tak berani
menolak. Diambilnya makanan itu dan dimakannya pelan-pelan sambil menundukkan
wajahnya takut menatap wajah ibu.
“Tadi Bu Mia telepon
ibu. Besok ibu akan ke sekolahmu, ibu berharap kesalahan yang kamu buat tidak
terlalu fatal. “
Bacang kaget. Tiba-tiba
saja Bacang menangis kencang.
“Hu...hu...maaf Bu,
maaf. Bachram memang salah. Bachram memang salah. Bachram minta maaf Bu.”
Ibu menahan napas.
Sebenarnya ibu kecewa dengan Bacang tetapi memarahi Bacang saat ini bukan cara
yang baik menyelesaikan masalah.
Hasil pertemuan Ibu dan Bu Mia menyatakan bahwa memberi
hukuman skorsing tiga hari pada Bacang. Bacang tidak boleh bersekolah selama
tiga hari. Ibu menganggap hukuman itu adalah hukuman yang bijak. Ibu berharap
dengan begitu Bacang menyadari kesalahannya dan mau mengubah perilaku buruknya.
“Nanti malam Paman
Surya datang ke rumah kita.” Kata Ibu pada Bacang.
“Paman Surya, Bu?Betul
Bu?” Bacang memastikan apa yang didengarnya.
Paman Surya adalah adik
ayah. Paman Surya seorang atlet beladiri. Kemarin Paman Surya mewakili
Indonesia dalam pertandingan pencak silat di Malaysia.
“Dari pada kamu jadi
jagoan di sekolah dan menyakiti teman-temanmu lebih baik kamu jadi seperti
Paman Surya. Keren. Bisa mengharumkan nama bangsa di dunia.”
Bacang terdiam. Bacang
bisa memahami kekecewaan ibu
padanya.Maafin Bacang Bu...
***
Sore itu Paman Surya menunjukkan foto-foto
pertandingannya ke Bacang. Paman Surya hebat. Berbagai kejuaraan
dimenangkannya.
“Pencak silat adalah
seni olahraga beladiri. Pencak silat bukan untuk digunakan untuk
sombong-sombongan. Silat bisa kita gunakan untuk membela diri sewaktu-waktu
dibutuhkan. Silat ini adalah olahraga yang bisa membuat tubuh kita selalu
sehat.”
Paman Surya menjelaskan
perihal silat ke Bacang. Bacang tertarik mendengarnya.
“Pencak silat Indonesia
sudah terkenal hingga mancanegara. Seni beladiri ini sering dipertandingkan di
luar negeri. Sebagai bangsa Indonesia, kita boleh berbangga karena pencak silat
Indonesia sering mendapat juara.”
“Bachram bisa belajar
silat, Paman?” tanya Bacang.
“Kamu tertarik?”
“Bisa saja. Kamu masuk
club pencak silat saja. Tapi ingat silatbukan untuk kesombongan. Sebab manusia
akan hancur oleh kesombongan itu.”
Bacang terdiam. Bacang
merasa tersindir oleh ucapan Paman Surya. Selama ini Bacang sudah sombong
sehingga kesombongan itu menghancurkan dirinya.
Atas izin orang tuanya Bacang pun dimasukkan ke perguruan
pencak silat oleh Paman Surya. Seminggu tiga kali Bacang akan belajar pencak
silat di tempat itu.
***
Selesai skorsing, Bacang masuk kembali ke sekolah. Pagi
itu Bacang berdiri di depan kelas. Terbata-bata dan penuh penyesalan Bacang menyampaikan
permohonan maaf.
“Teman-teman, Bacang
mohon maaf sudah membuat susah teman-teman. Bacang sering menyakiti teman-teman. Bacang mohon maaf atas yang
Bacang lakukan ke teman-teman.”
Perlahan air mata
Bacang menetes. Teman-teman Bacang terharu pada Bacang. Mereka tak menyangka
Bacang yang keras dan kasar akhirnya meneteskan air mata penyesalan.
Bacang benar-benar berubah. Skorsing tiga hari itu
rupanya menjadi pelajaran berharga buat Bacang. Tiga hari di rumah membuat
Bacang sedih jauh dari teman-temannya. Jika Bacang terus-menerus sombong dan
kasar bisa-bisa seumur hidup tidak ada yang mau jadi temannya. Bacang lebih
banyak diam di sekolah.Tak sekali pun dia menjahili teman-temannya. Sepulang
sekolah Bacang tidak sempat keluyuran untuk main. Dia harus cepat sampai rumah
untuk ikut latihan pencak silat atau membantu ibu merapikan taman.
***
Tidak terasa Bacang sudah setahun mengikuti latihan di
perguruan silat Si Pitung. Bacang tidak
main-main. Setiap latihan diikutinya dengan serius. Kuda-kuda Bacang sudah
cukup kuat. Gerakannya juga gesit dan lincah. Meski tubuhnya tidak kecil,
Bacang bisa bergerak lincah memainkan jurus-jurus silat yang dipelajarinya.
Hingga pada akhirnya perguruan Si Pitung mengizinkan Bacang mengikuti
pertandingan untuk pertama kalinya.
Ibu dan ayah menyemangati Bacang dari jauh. Paman Surya
memberi semangat kepada Bacang.
“Selamat bertanding. Ingat,
paman tidak peduli kamu menang atau kalah. Yang terpenting dalam pertandingan
ini kamu sportif.” Bacang memahami pesan Paman Surya.
Sorak-sorai riuh di stadion mini itu. Suporter Bacang
yang terdiri dari teman-teman sekolahnya meneriakkan yel-yel untuk menyemangati
Bacang. Teman-teman yang dulu tidak suka Bacang. Teman-teman yang dulu sering
menjadi korban keusilan dan kenakalan justru menjadi teman yang memberi
dukungan buat Bacang. Bacang terharu. Ternyata dia masih punya teman-teman yang
baik. Ternyata dosanya pada teman-temannya itu dibalas dengan kebaikan
teman-temannya.
Bacang tidak ragu menunjukkan jurus-jurusnya. Kelincahan
dan kegesitannya mengundang decak kagum. Semua mata tertuju padanya. Mereka
terus bersorak memberi semangat untuk Bacang. Mereka bersorak dan berpelukan
tatkala juri menyatakan Bacang menjadi pemenangnya. Mereka senang Bacang jadi
juara.
Selesai pertandingan, Bacang menemui teman-teman yang
memberi dukungan padanya. Bacang mengucapkan terima kasih pada mereka.
Tiba-tiba seorang gadis kecil berpakaian silat menghampirinya. Itu Sinta, teman
sekelasnya. Bacang bingung dengan dengan penampilan Sinta.
“Selamat ya, Cang.”
Ucap Sinta.
“Sinta? Kamu juga
belajar silat?” Bacang penasaran dengan apa yang dilihatnya.
“Iya, kamu ingat pernah
menjambakku waktu dulu? Sejak itu aku minta pada ayahku untuk memasukkan aku ke
perguruan silat.”
Bacang merasa tidak
enak karena sudah pernah menyakiti Sinta.
“Maafin aku, Sinta”
sesal Bacang.
“Aku sudah melupakan
itu semua. Aku belajar silat agar aku bisa melindungi diriku sendiri sekaligus
olahraga.” Sinta menenangkannya.
“Oh, begitu. Itu bagus
sekali. Meskipun anak perempuan kamu punya bekal untuk menjaga dirimu sendiri.”
“Yang penting silat itu
bukan untuk sombong-sombongan, setuju Cang?” Bacang
dan Sinta tertawa, mereka setuju dengan kata-kata Sinta terakhir.
selesai
Komentar
Posting Komentar